REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Wahyu Suryana, Desy Suciati Saputri, Rr Laeny Sulistyawati
Sejak Senin (13/7), Kemenkes menghapus sejumlah istilah terkait orang yang terinfeksi virus corona. Istilah orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang berhubungan dengan infeksi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) kini tidak lagi dipakai oleh pemerintah.
Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia Syahrizal Syarif menyoroti istilah baru tersebut. Salah satu dampaknya ia prediksi adalah lonjakan angka kematian Covid-19 karena perubahan indikator.
Istilah baru dalam operasional kasus Covid-19 adalah kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi, dan kontak erat. Istilah baru tersebut dijadikan pengganti ODP, PDP dan OTG.
"Dalam Permenkes baru akomodir imbauan WHO bahwa kasus probable yang belum ada konfirmasinya (terjangkit Covid-19) dihitung sebagai kematian Covid-19," kata Syahrizal saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (14/7).
Syahrizal meragukan penerapan yang akan dilakukan Kemenkes lewat aturan tersebut. Sebab dampaknya akan signifikan berpengaruh pada jumlah kematian Covid-19 di Tanah Air.
"Apa benar Kemenkes mau lakukan itu? Sementara negara lain tidak banyak ikuti anjuran WHO itu. Kalau betul dilakukan maka angka kematian yang dilaporkan akan jauh meningkat," ujar Syahrizal.
Dalam aturan baru Kemenkes disebutkan kasus probable adalah suspek dengan ISPA berat/ARDS/meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan Covid-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Syahrizal mengungkapkan saat ini saja kematian yang disumbang ODP dan PDP rata-rata secara nasional 3,5 kali lipat dari kematian yang dilaporkan.
"Nah kalau Kemenkes ingin ikuti pedoman baru WHO ini maka jangan kaget nanti angka kematiannya dilaporkan bisa 2 kali lebih banyak dari yang sekarang dilaporkan," ucap Syahrizal.
Penggunaan istilah baru bagi Covid-19 tersebut sebenarnya tidak baru. "Bagi masyarakat awam mungkin belum biasa, tapi bagi tenaga kesehatan sebetulnya istilah suspek, probable itu bukan hal baru lagi. Sebetulnya sudah digunakan ketika SARS," kata Syahrizal.
Ia mengatakan, istilah tersebut mengacu pada pedoman WHO. "Pedoman WHO tidak berubah, Indonesia saja yang kemudian bikin istilah baru yang berikan kerancuan," lanjut Syahrizal.
Syahrizal merasa perubahan istilah ini bukan masalah besar, khususnya bagi tenaga kesehatan. Ia justru mendukung jika ada upaya Kemenkes melakukan perbaikan penanganan Covid-19.
"Dalam situasi pandemi wajar Kemenkes merevisi pedoman penanganan penyakit. WHO juga terus beri arahan protokol kesehatan Permenkes ini sudah revisi kesekian kali, 5-6 kali," ujar Syahrizal.
Syahrizal menekankan perubahan istilah sebaiknya dibarengi upaya Kemenkes mengindari kerancuan. Ia menyayangkan jika perubahan istilah malah menambah kerancuan.
"Istilah banyak berikan kerancuan. Apa pedoman ini bisa beri pemahaman lebih mudah atau tidak, apa definisinya lebih tepat dan valid atau tidak daripada yang lalu," ucap Syahrizal.
Satu yang menjadi kritik Syahrizal, yaitu posisi orang dalam pemantauan (ODP) kini tak jelas masuk kategori mana. "Ada ketidakjelasan posisi ODP, suspek disamakan PDP, sementara tidak ada penjelasan di mana ODP. Seolah-olah istilah ODP hilang," katanya.
Dalam aturan baru Kemenkes itu, kriteria kasus suspek adalah orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal atau orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable Covid-19.
Kemenkes memberi catatan, istilah PDP saat ini dikenal kembali dengan istilah kasus suspek. Kemudian kasus probable adalah suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan Covid-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
"Istilahnya suspek dan probable. Bayangannya itu selama ini suspek adalah ODP, yang probable itu PDP. Di aturan itu PDP justru suspek, lalu ODP di mana?" ujar Syahrizal.
Syahrizal berharap Kemenkes lebih teliti sebelum menerbitkan aturan tersebut yang merujuk WHO. Sehingga masyarakat dan tenaga kesehatan akan terhindar dari kerancuan.
"Harusnya ditulis ODP dan PDP masuk ke suspek, sementara probable itu untuk gejala klinis yang kritis," ucap Syahrizal.
Hingga kemarin total terdapat 78.571 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Tambahan kasus kemarin adalah sebanyak 1.591 dari 23.001 pemeriksaan spesimen.
Sementara itu, kasus sembuh bertambah 947 orang sehingga menjadikan total sembuh sebanyak 37.636 orang. Sebanyak 54 orang pun dilaporkan meninggal pada pembaruan data kemarin. Total 3.710 kasus meninggal karena virus corona di Indonesia.
Sementara itu, kasus suspek yang sebelumnya disebut sebagai ODP dan PDP yakni sebanyak 46.701 orang. Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengutarakan sebanyak 461 kabupaten dan kota pun terdampak Covid-19. Penambahan kasus Covid-19 di berbagai daerah masih terus terjadi karena kurangnya disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan.
Kepatuhan masyarakat terapkan protokol kesehatan untuk cegah penularan Covid-19 boleh dibilang belum maksimal. Pemandangan orang-orang tanpa masker saat beraktivitas di luar rumah dan tidak jaga jarak masih banyak ditemukan.
Kondisi itu mendorong sejumlah daerah di Tanah Air lakukan langkah penindakan dengan pemberian sanksi baik secara fisik, sosial, maupun material. Misalnya, dengan memberi hukuman push up, jalan jongkok, mencabut rumput hingga denda.
Psikolog Sosial UGM, Prof. Faturochman merasa, rendahnya kesadaran masyarakat mematuhi protokol kesehatan terjadi karena belum sepenuhnya sadar manfaatnya. Sebab, manfaat seperti terhindar dari risiko virus tidak dirasakan langsung.
"Sejauh ini orang-orang tidak patuh memakai masker dan tidak jalankan sosial distancing karena tidak merasakan keuntungannya," kata Faturochman, Selasa (14/7).
Sedangkan, masyarakat baru dapat menyadari bahaya dari perilaku abai terhadap protokol kesehatan jika ada keluarga atau orang terdekat terinfeksi Covid-19. Dampak tidak langsung itu menjadi titik berat patuh secara sosial kesehatan.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini berpendapat, pemerintah perlu membuat formulasi pemberian sanksi agar protokol kesehatan berjalan efektif. Jadi, baik hukuman fisik maupun sosial bisa memberikan efek jera bagi pelanggar.
Sanksi yang diberi harus timbulkan rasa malu dan memberikan manfaat secara sosial agar meningkatkan kesadaran masyarakat patuh protokol kesehatan. Ia mempertanyakan pula dampak dari hukuman seperti push up atau bersih-bersih.
"Prinsip hukuman itu kan membuat jera, kalau terlalu ringan tidak akan kapok, tapi kalau terlalu berat akan memunculkan dendam atau sikap agressif. Hal ini yang harus dipikirkan," ujar Faturochman.
Menurut Faturochman, penegakan aturan harusnya diawali institusi pemerintah, kantor-kantor layanan publik, pusat-pusat bisnis, perdagangan dan lain-lain. Mereka diharap dapat memberi contoh disiplin terhadap protokol kesehatan.
"Kalau itu tidak terpenuhi, masyarakat yang melakukan pelanggaran akan merasa tidak ada masalah. Yang ditertibkan itu dulu, jangan yang di jalan-jalan, ini akan lebih efektif," kata Faturochman.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kembali memberikan perkembangan terbaru terkait pemetaan zonasi risiko daerah di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh tim, pergerakan zonasi risiko daerah terpapar virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) mengalami perubahan yang lebih baik.
Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan seiring waktu terdapat perkembangan perbaikan kondisi zona Covid-19. “Selama tujuh pekan terakhir terjadi perkembangan yang sangat signifikan, Jika di akhir Mei zona merah (risiko tinggi) tersebar di 108 kabupaten/kota, kini per tanggal 12 Juli 2020 zona merah hanya tersebar di lima puluh lima kabupaten /kota,” kata Wiku saat konferensi pers virtual akun youtube saluran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bertema Update Zonasi, Selasa (14/7).
Selain itu untuk terdapat daerah yang bisa mengubah zonasinya dari zona tinggi menjadi zona tidak terdampak. “Jika melihat zona hijau (tidak terdampak) cukup banyak daerah di Indonesia yang mengubah zonasinya dari zona tinggi, sedang dan rendah untuk menjadi zona tidak terdampak atau tidak ada kasus,” ujarnya.
Wiku yang merupakan pakar epidemologi menyatakan, meskipun menunjukan tren membaik, masyarakat diharapkan tetap waspada. “Meskipun kecenderungan selama tujuh minggu terakhir terjadi peningkatkan yang baik, tetapi kewaspadaan tetap harus dijaga agar makin lama makin membaik lagi,” katanya.
Sementara itu Wiku menjelaskan, delapan provinsi yang menjadi perhatian dikarenakan jumlah kasus yang tinggi. Provinsi yang menjadi perhatian karena jumlah kasus tinggi dan insidensinya tinggi, per tanggal 12 Juli 2020, meliputi Jawa Timur 16.658 kasus, DKI Jakarta 14.517 kasus, Sulawesi Selatan 6.973 kasus, Jawa Tengah 5.473 kasus, Jawa Barat 5.007 kasus, Kalimantan Selatan 4.146 kasus, Sumatra Utara 2.323 kasus, dan Papua 2.267 kasus.
Total dari delapan provinsi ini mencakup 74 persen dari seluruh kasus di Indonesia. Wiku mengimbau untuk meningkatkan pemeriksaan, pelacakan dan pengobatan di delapan provinsi tersebut, guna menurunkan jumlah kasus di tiap provinsinya.
“Perlu ditingkatkan tiga T yaitu Testing, Tracing dan Treatment. Dengan harapan kasus ini akan bisa menurun dan lebih baik dan kondisi Indonesia secara keseluruhan lebih baik,” ujarnya.
Ia juga berpesan agar kerjasama antar pihak diperlukan dan selalu menerapkan protokol Kesehatan dimanapun dan kapanpun. “Pimpinan daerah dan masyarakat mari bekerja sama agar seluruh wilayah di Indonesia menjadi membaik dengan cara menerapkan protokol Kesehatan yang dijalankan secara individu ataupun kolektif,” katanya.