REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- IMPROVE Indonesia bekerjasama dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kepulauan Bangka Belitung menyelenggarakan Webinar dengan tema "Pandemic and The Face of Humanity." Pembahasan diskusi ini utamanya mengkaji diskursus toleransi, radikalisme dan ketahanan nasional di masa pandemi.
Kegiatan ini dimoderatori oleh Moh Rafli Abbas, Project Manager Institute of ASEAN Studies UKI Jakarta. Dalam diskusi ini hadir berbagai pembicara yang kompeten di bidangnya masing-masing.
Diskusi ini dimulai dengan paparan oleh Direktur Eksekutif IMPROVE Indonesia, Novendra Hidayat yang menyampaikan beberapa hal terkait diskursus pandemi dan wajah kemanusiaan. Pertama, diperlukan langkah-langkah kolaboratif dan sinergis dari seluruh pihak dalam mengantisipasi isu radikalisme.
"Deradikalisasi perlu diteguhkan kembali hingga ke level dearah dengan melibatkan pemerintah daerah, kelompok masyarakat, pers, kaum muda, sekolah, kampus dan tokoh agama,"kata Novendera.
Kedua, pentingnya membangun harmonisasi relasi pada berbagai komunitas masyarakat, baik berbasis agama maupun berbasis komunitas kebangsaan. Ketiga, perlunya dialog-dialog ideologi yang lebih terbuka antar komunitas pada forum-forum intelektual sebagai wujud upaya menjaga keutuhan NKRI.
Keempat, dibutuhkan sinkronisasi tugas pokok dan fungsi antar lembaga dalam penanganan pandemi Covid-19, hingga pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan ketahanan nasional di Indonesia. "Sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih kebijakan antar lintas sektoral," kata Novendra.
Ketua FKPT Babel, Sri Wahyuni mengatakan terdapat beberapa faktor yang memicu tindakan radikalisme di Indonesia. Yaitu, radikalisme yang berbasis ideologi keagamaan, kebangsaan, dan faktor kemiskinan dan krisis kepercayaan terhadap negara.
Ia meyakini pancasila sebagai ideologi penangkal radikalisme yang masih dapat diandalkan dewasa ini. Selain itu, diperlukan kampanye kewirausahaan di tiap daerah dalam upaya menekan angka kemiskinan dan pengangguran sehingga kesejahteraan meningkat dan tidak terjadi lagi kecemburuan sosial di tengah masyarakat.
Pembicara lainnya, Hardi Putra Wirman, pengamat politik dan militer IAIN Bukittinggi menyoroti persoalan radikalisme, pertahanan dan keamanan nasional tidak semudah yang dibayangkan. Persoalan radikalisme sifatnya non tradisional dalam artian musuh yang dihadapi tak nyata dan lebih bersifat soft power.
Situasi ini tentunya akan melibatkan berbagai faktor global. Di samping itu terorisme dewasa ini bercorak new terorism yang berbasis ideologi, agama dan non struktur. Terorisme gaya baru ini disebabkan oleh faktor-faktor transnasional atau aktor-aktor global yang bisa saja menggunakan teknologi sebagai alat untuk meneror, misalkan situs web dan media sosial.
Sementara, peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie mengatakan, ada tiga perspektif dalam penanganan pandemi Covid-19. Pertama, perspektif yang menyebutkan Covid-19 sebagai persoalan kesehatan.
Kedua, Covid- 19 sebagai masalah kebencanaan, dan ketiga, perspektif yang menyebutkan Covid-19 ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara.
"Perspektif yang terakhir ini menimbulkan berbagai macam diskursus dan polemik di tengah masyarakat. Polemik dimaksud identik dengan aspek militer, non militer, dan hibrid (penggabungan aspek militer dan non militer)," kata Ikhsan.
Disamping itu, perspektif penanganan Covid-19 bisa saja merupakan ancaman perang asimetris yang melibatkan berbagai macam aktor-aktor global dalam bentuk proxy war (perang cyber). Di mana ada pergeseran definisi perang itu sendiri, dari social war menjadi net war. Sehingga pendekatannya menggunakan state security dan human security.