Jumat 10 Jul 2020 19:29 WIB

Penanganan Covid-19 Bisa Belajar dari Flu Burung

Flu burung di Indonesia sempat memiliki angka kematian hingga 80 persen.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Indira Rezkisari
Penduduk memegang itik yang akan di vaksin flu burung oleh tim Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, di Kampung Lebakwangi, Desa Sekarwangi, Kecamatan Soreang, Jumat (24/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Penduduk memegang itik yang akan di vaksin flu burung oleh tim Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, di Kampung Lebakwangi, Desa Sekarwangi, Kecamatan Soreang, Jumat (24/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wabah penyakit dan pandemi bukan pertama kalinya dihadapi oleh bangsa Indonesia. Pada tahun 2005 silam tercatat ada sekitar 200 kasus penularan flu burung yang menginfeksi manusia terjadi di Indonesia dan kurang dari 1.000 kasus di dunia.

Ketua Komite Nasional Pengendalian Flu Burung Pandemi Influenza (Komnas FBPI) 2005-2009 Dr. Bayu Krisnamurthi menyatakan dampak dari wabah flu burung yang terjadi sekitar tahun 2005 jauh lebih ringan jika dibandingkan Covid-19 yang saat ini dihadapi Indonesia. "Kalau dibandingkan dengan Covid-19 terus terang saja saya harus mengatakan flu burung itu tidak ada apa-apanya," kata Bayu dikutip dari siaran pers Gugus Tugas Nasional, Jumat (10/7).

Baca Juga

Lebih lanjut, Bayu mengatakan yang mengerikan dari flu burung adalah angka kematian (fatality rate) yang sangat tinggi. Angka kematian di dunia sebesar 60 persen, sementara di Indonesia mencapai 80 persen.  

Bayu menceritakan, dalam penanganan penyakit flu burung pemerintah Indonesia mengambil langkah cepat dengan membentuk Komnas FBPI sejak awal terdeteksinya flu burung di Indonesia. Komnas FBPI kemudian melancarkan strategi yang akhirnya dapat meredam dampak wabah flu burung saat itu.

"Kita menangani penyakitnya, dampak sosial-ekonominya, dan komunikasi publiknya itu dalam porsi yang sama besar," jelas Bayu.

Saat menangani penyakitnya, katanya, Komnas FBPI melibatkan seluruh ilmuwan yang ada. Alasannya, wabah flu burung merupakan sesuatu yang baru pada saat itu.

Bicara mengenai dampak ekonomi, Bayu menyampaikan bahwa dalam penanganan kasus flu burung, unggas yang berpotensi terinfeksi harus dimusnahkan dengan cara dibakar. Padahal di sisi lain ayam dan unggas lainnya memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat.

Menurutnya, saat itu pemerintah berupaya menjangkau masyarakat dengan komunikasi yang tidak putus-putus dengan komunikasi yang kreatif. Hal ini dilakukan demi membangun komunikasi publik yang efektif. "Komunikasi yang membuat mereka bukan hanya takut, tapi juga siaga," ujar Bayu.

Bayu juga menitikberatkan pentingnya strategi komunikasi yang perlu disusun dengan baik agar pemenuhan informasi kepada masyarakat dapat diterapkan. "Strategi komunikasi ini kita susun dengan baik, strategis, komprehensif, multilevel, multimedia. Masyarakat sekarang membutuhkan informasi, kalau tidak diisi mereka akan cari, jadi penuhi dengan informasi yang benar," jelasnya.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan 2004-2009 I Nyoman Kandun mengingatkan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19. Ia juga menjelaskan bahwa kerjasama lintas sektor yang sinergis sangat diperlukan agar langkah penanganan penyebaran virus dapat terlaksana dengan efektif.

"Kerja sama antar lintas sektor, lintas program bahkan lintas negara sangat penting sekali, karena penyakit menular tidak mengenal wilayah secara administratif," ujar Nyoman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement