Rabu 08 Jul 2020 20:57 WIB

Pakar: KPK Saat Ini Fase Normal Baru

Zainal mengatakan KPK saat ini lebih rajin memproduksi kontroversi dari pada perkara.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan KPK saat ini dalam fase normal baru (new normal). Fase itu lantaran penerapan UU No 19 tahun 2019 tentang revisi UU KPK di bawah kepemimpinan Komisioner 2019-2023.

"Tahun 2019 itu tahun yang membawa bahaya ke KPK, bukan karena adanya Covid-19 tapi karena pada saat itulah adanya revisi UU KPK dan proses pemilihan komisioner KPK yang kita tahu jauh dari ideal, jadi saat ini KPK ada dalam kondisi new normal," kata Zainal Arifin dalam diskusi virtual di Jakarta, Rabu (8/7).

Baca Juga

Zaiman menyampaikan hal tersebut dalam diskusi "Mencermati Penegakan Etik Pejabat Publik" yang diadakan Indonesia Corruption Watch (ICW). Selain Zainal, pembicara dalam diskusi itu adalah Komisioner KPK 2011-2015 Bambang Widjojanto, pegiat HAM dan demokrasi Muji Kartika Rahayu dan peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

"KPK saat ini lebih rajin memproduksi kontroversi dari pada perkara, saya tidak tahu kenapa Rapat Dengar Pendapat (RDP) kemarin dibawa ke KPK dan dilakukan tertutup dan dengar-dengar penuh puja-puji untuk komisioner KPK sekarang. Bila puja-puji datang dari politisi biasaberbanding terbalik dengan respon publik dan riset Kompas dan catatan ICW memang menunjukkan KPK semakin jauh dari harapan publik," tambah Zainal.

Penyebabnya, menurut Zainal, adalah kondisi UU KPK saat ini yang membuat KPK sangat berantakan ditambah faktor kepemimpinan yang bermasalah. "Di KPK ada komisioner dan Dewan Pengawas ada semacam dualisme dan mulai terkesan membingungkan. Komisioner mengatakan apa, Dewan Pengawas mengatakan apa, kalau diadu siapa yang bohong dan melanggar kode etik tidak jelas," ungkap Zainal.

Pelanggaran kode etik yang dimaksudkan adalah terkait aduan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) kepada Dewan Pengawas KPK mengenai Ketua KPK Firli Bahuri. Ia diduga melanggar kode etik karena menggunakan helikopter saat berkunjung di Sumatera Selatan.

"Komisioner KPK lain langsung membela Firli tapi juga tidak jelas yang memverifikasi siapa? Yang jadi masalah awal memang UU KPK karena mempengaruhi konteks kerja kelembagaan di mana konteks internal di KPK jadi membingungkan, komsioner bicara apa, Dewas bicara apa, pernyataan KPK yang benar itu yang mana?" tambah Zainal.

Persoalan UU itu tampak saat KPK gagap dalam menangani kasus kader PDIP Harun Masiku dan penyanderaan terhadap penyidik KPK di institusi penegak hukum lainnya. "Pada masa new normal ini seakan-akan tidak saat menghalang-halangi penyelidikan pemberantasan korupsi, sudah dibuat normal saja dan diperparah dengan tidak ada langkah nyata, saya tidak tahu apa yang dilakukan Dewas karena seharusnya tugas Dewas bukan hanya melihat pelanggaran etik tapi juga bisa menilai kinerja," jelas Zainal.

Dewas, menurut Zainal, seharusnya rajin mendorong kerja pimpinan KPK dan bawahannya termasuk melindungi penyidik KPK yang disandera dan mendorong pemberantasan korupsi berjalan maksimal. "Kalau Dewas tidak bekerja dengan baik, maka akan dilaporkan ke mana? Itu yang saya sampaikan buruknya konstruksi mekanisme internal KPK. Saya juga tidak tahu apa penyebabnya kenapa seorang pimpinan KPK harus mempertontonkan dirinya dengan helikopter yang sangat mewah sehingga tidak lagi memperlihatkan standar etik yang dibayangkan publik," tambah Zainal.

Bila KPK saat normal lama menjaga agar tidak dianggap melakukan konflik kepentingan dengan membawa makanan sendiri, KPK sekarang mengalami degradasi seiring degradasi internal KPK. "Jadi menggeser KPK ke arah yang 'new normal' sehingga standar etik KPK sudah tidak ada. Penegakan etik jadi membingungkan bahkan kalau Dewas tidak melaksanakan tugas dengan baik seperti ini juga membingungkan bagaimana mekanisme penanganannya?" ungkap Zainal.

Untuk mengatasi normal baru KPK tersebut, Zainal masih berharap dengan uji materi UU No 19 tahun 2019 tentang revisi UU KPK di Mahkamah Konstitusi.

Mantan pimpinan KPK 2015-2019 Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang, bersama-sama dengan koalisi masyarakat sipil mengajukan "judicial review" untuk uji formil dan materil atas UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK pada 20 November 2019. Hingga saat ini, proses tersebut masih berlangsung.

"Walau sebenarnya hampir mustahil bagi MK untuk mengabulkan uji materi karena kesalahan formil terhadap penyusunan UU KPK tapi saya masih masih berharap, saya berharap betul KPK diluruskan kembali ke UU KPK lama," kata Zainal.

Selain itu, menurut Zainal harus dicari cara-cara baru untuk melakukan pemberantasan korupsi. Cara pertama misalnya mendorong lembaga-lembaga lain di luar KPK agar lebih berperan dalam penegakan etik di KPK misalnya di Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atau Ombudsman.

"Walau lembaga-lembaga lain belum tentu bisa menyelesaikan persoalan ini tapi dengan melebarkan laporan ke lembaga lain membuat KPK harus paham diri bahwa dia tidak lagi spesial di mata publik," ungkap Zainal.

Cara kedua adalah membuat KPK baru. "Jangan-jangan menjawab new normal KPK sekaligus buat saja KPK baru. Anggap saja KPK sekarang tidak ada dan bangun KPK. Kalau perlu siapapun Presiden yang akan memimpin 2024 dia harus membangun KPK baru," ungkap Zainal.

Sedangkan cara ketiga adalah mendorong tekanan publik untuk menagih KPK kembali bekerja dengan standar etik yang tinggi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement