Ahad 05 Jul 2020 14:53 WIB

Mendaras Surat-Surat tentang Islam Sukarno dari Ende

Di Ende, selain menulis surat Sukarno juga berdiskusi dengan ulama Persis, Hassan

Sejumlah wisatawan mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende, NTT, Jumat (20/5). (/Wahyu Putro A)
Foto:

Sukarno dikirimi buku dan majalah Islam oleh A. Hassan yang dikenal sebagai ulama pendidik yang sangat pemurah, penulis Tafsir Al Quran dan penerbit majalah-majalah Islam ternama di masa itu.

Inilah surat ucapan terima kasih Sukarno kepada A. Hassan tertanggal Endeh, 26 Maret 1935:

“Assalamu’alaikum w.w. 

Tuan punya kiriman pos paket telah tiba di tangan saya, seminggu yang lalu. Karena terpaksa menunggu kapal, baru ini harilah saya bisa menyampaikan kepada Tuan terima kasih kami laki-isteri serta anak. Biji jambu mede menjadi “ganyeman” seisi rumah; di Endeh ada juga jambu mede, tapi varieteit “liar”, rasanya tak nyaman. Maklum, belum ada orang yang menanam varieteit yang baik.

Oleh karena itu, maka jambu mede itu menjadikan pesta. Saya punya mulut sendiri tak berhenti-henti mengunyah! Buku yang tuan kiriman itu segera saya baca. Terutama “Soal-Jawab” adalah suatu kumpulan jawahir-jawahir. Banyak yang semula kurang terang, kini lebih terang.

Alhamdullilah! Saya belum ada Bukhari dan Muslim yang bisa dibaca. Betulkah belum ada Bukhari Inggris? Saya pentingkan sekali mempelajari hadis, oleh karena saya tuliskan sedikit di dalam salah satu surat saya yang terdahulu, dunia Islam menjadi mundur oleh karena banyak orang “jalankan” hadis yang dhaif dan yang palsu. Karena hadis-hadis yang demikian itulah, maka agama Islam menjadi diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketahayulan, bid’ah, anti rasionalisme, dll. Padahal tak ada agama yang lebih rasional dan simplistic daripada Islam.

Saya ada sangkakan keras bahwa rantai taqlied yang merantai ruh dan semangat Islam dan yang merantaikan pintu-pintu bab el-Ijthihad, antara lain, ialah hasilnya hadis-hadis yang dhaif dan palsu itu. Kekolotan dan kekonservativan-pun dari situ datangnya. Karena itu adalah saya punya keyakinan yang dalam, bahwa kita tak boleh menghasilkan harga yang mutlak kepada hadis. Walaupun menurut penyelia dikatakan Shahieh.

Human reports (berita yang datang dari manusia) tak absolute, absolute hanyalah kalam Ilahi. Benar atau tidaknya pendapat saya ini? Di dalam daftar buku, saya baca Tuan ada sedia “Jawahirul-Bukhari”. Kalau Tuan tiada keberatan, saya minta buku itu, niscaya di situ banyak pengetahuan pula yang saya bisa ambil. Dan kalau Tuan tidak keberatan pula, saya minta “keterangan hadis mi’raj”. Sebab, saya mau bandingkan dengan saya punya pendapat sendiri, dan dengan pendapat Essad Bey, yang di dalam salah satu bukunya ada mengasih gambaran tentang kejadian ini.

Menurut keyakinan saya, tak cukuplah orang menafsirkan mi’raj itu dengan percaya saja, yakni dengan mengecualikan keterangan “akal”. Padahal keterangan yang rasional di sini ada. Siapa kenal sedikit ilmu psikologi dan parapsikologi, ia bisa mengasih keterangan yang rasionalitis itu. Kenapa suatu hal harus “dighaibkan” kalau akal bisa menerangkan?

Saya ada keinginan pesan dari Eropa, kalau Allah mengabulkannya dan saya punya mbakyu suka membantu uang harganya, bukunya Ameer Alie “The Spirit Of Islam”. Baikkah buku ini atau tidak? Dan dimana uitgevernya? Tuan, kebaikan budi Tuan kepada saya, hanya sayalah yang merasai betul harganya, saya kembalikan lagi kepada Tuhan. Alhamdulilah, segala puji kepada-Nya. Dalam pada itu, kepada Tuan 1.000 kali terima kasih. Wassalam, Sukarno.”

Sebelum meninggalkan pulau Flores, Bung Karno sempat menanam pohon kokara, yaitu sejenis pohon yang berdaun lima. Di kemudian hari oleh beliau pohon tersebut diberi nama “pohon Pancasila”.  Selama pengasingan di Ende yang merupakan “penjara terbuka”, konon Sukarno merenungkan butir-butir mutiara kebangsaan yang menjadi pokok-pokok pikiran Pancasila.

Pada 1938 Sukarno dibuang ke Bengkulu, Sumatra Selatan, yang di masa itu bernama Bengkulen. Selama dalam pembuangan di Bengkulu ini, Sukarno aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan menjadi Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Daerah Bengkulu. Ia juga aktif menulis artikel-artikel tentang Islam yang dimuat di majalah. Dalam kurun waktu tersebut muncul polemik intelektual yang berbobot antara Sukarno dengan Mohammad Natsir mengenai hubungan agama dengan negara.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, sejarah pengasingan Bung Karno di Ende tidak lengkap tanpa menyusuri jejak pemikiran islam Sukarno dan aktivitas surat-menyuratnya dengan A. Hassan Bandung yang mengupas mengenai berbagai masalah agama. Surat-surat Islam dari Endeh tidak bisa dihilangkan dari potret nasionalisme Sukarno yang berketuhanan.

Seperti diketahui,  tidak semua orang sependapat dengan pemikiran dan politik Sukarno sewaktu ia berkuasa. Tapi dengan segala kelebihan dan kekurangannya bapak bangsa yang lahir 6 Juni 1901 dan meninggal 21 Juni 1970 itu adalah orang besar dan berjasa terhadap bangsa dan tanah air Indonesia. Bung Karno salah seorang Pemimpin Utama Bangsa Indonesia, di samping Bung Hatta.

Semangat Sukarno muda yang  menggelorakan kehidupan berpikir dalam Islam sembari membangkitkan kesadaran kebangsaan dan peran beliau sebagai “penggali landasan falsafah negara” telah menjadi bagian terpenting sejarah negara Republik Indonesia. Karena itu, “merenggangkan” Pancasila dari Islam adalah berlawanan dengan garis pemikiran para pendiri bangsa. Dalam hubungan ini, pemimpin Islam dan pahlawan nasional Mohammad Natsir berkata, “Pancasila akan hidup subur dalam pangkuan ajaran Islam.”

Wallahu a’lam bisshawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement