Ahad 21 Jun 2020 04:59 WIB

Bung Karno, Inisiator Piagam Jakarta

Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, fundamental moral jadi pengunci fundamental politik.

Wakil Kepala BPIP, Prof Hariyono.
Foto: Istimewa
Wakil Kepala BPIP, Prof Hariyono.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hariyono, Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Guru Besar Sejarah Politik Universitas Negeri Malang

Menjelang akhir penutupan sidang pleno Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945, dibentuk 'Panitia Kecil. Tugas Panitia Kecil ini menurut Bung Hatta adalah untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Panitia Kecil tersebut terdiri delapan orang, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Alexander Andries Maramis, Mas Sutardjo Kartohadikusumo, Otto Iskandardinata, Ki Bagus Hadikusumo, dan Wahid Hasjim. Karena jumlahnya delapan orang maka sering disebut 'Panitia Delapan'.

Menyimpang dari formalitas

Pada tanggal 18-21 Juni 1945 Chuo Sangi In (Badan Penasihat Pusat/Dewan Pertimbangan Pusat) mengadakan sidang ke-delapan. Banyak anggota BPUPK yang juga merangkap jadi anggota Chuo Sangi In. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Bung Karno untuk bertemu dan menampung berbagai usulan (diusulkan yang diundang 32 anggota BPUPK yang merangkap anggota Chuo Sangi In dan 15 anggota yang tinggal di Jakarta), tetapi yang bisa hadir hanya 38 orang (sembilan orang tidak bisa hadir). Mereka bertemu di Gedung Jawa Hookokai.

Setelah pelbagai usulan diterima dibentuklah panitia perumus yang jumlahnya sembilan orang, sehingga sering disebut 'Panitia Sembilan'. Panitia perumus diketuai oleh Bung Karno dengan anggotanya, Bung Hatta, M Yamin, Maramis, Achmad Soebardjo (representasi golongan kebangsaan), serta Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso (representasi golongan Islam). Panitia perumus ini melakukan diskusi di rumah dinas Bung Karno, Jalan Kebangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.

Berdasarkan usulan dari anggota anggota BPUPK yang bertemu di Gedung Jawa Hokokai, disepakati usulan sila kelima dari pidato Bung Karno, yaitu tentang 'Ketuhanan Yang Maha Esa' dipindahkan ke posisi pertama dengan perubahan redaksi. Sebagai bangsa religius dan mayoritas beragama Islam, mereka setuju dengan kalimat Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya.

Sila kedua Internasionalisme atau Humanisme posisinya tetap di sila kedua. Namun redaksinya diubah dengan 'Kemanusiaan yang Adil dan Beradab'. Sedang sila pertama, Kebangsaan dipindah menjadi sila ketiga dengan perubahan redaksi, yaitu 'Persatuan Indonesia'. Sila ketiga tentang Demokrasi dipindah ke sila keempat dengan perubahan redaksi, 'Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan'. Dan, sila Kesejahteraan Sosial diposisikan di sila kelima dengan redaksi 'Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia'.

Hasil rumusan mereka oleh Bung Karno disebut 'Mukadimah'. Sementara M Yamin menyebutnya sebagai 'Piagam Jakarta', dan Soekiman Wirjosandjojo menyebutnya 'Gentlemen's Agreement'.

Melanggar formalitas

Proses penyusunan tersebut jelas melanggar prosedur dan formalitas yang telah disepakati. Pihak Jepang tidak senang dengan yang dilakukan Bung Karno. Berhubung posisi Jepang sudah makin terdesak oleh pasukan Sekutu, maka Nippon tidak bisa mengambil tindakan tegas. Bung Karno sebagai tokoh yang mengambil inisiatif penyusunan Piagam Jakarta, berusaha minta maaf kepada lembaga BPUPK.

Pada 10 Juli 1945, hari pertama sidang pleno kedua BPUPK menyatakan permintaan maaf sekaligus pentingnya terobosan yang telah dilakukan Panitia Kecil yang merujuk pada Panitia Sembilan. Bung Karno menyatakan,

 
"Semua anggota Panitia Kecil sadar sama sekali bahwa jalannya pekerjaan yang kami usulkan itu sebenarnya ada menyimpang dari pada formaliteit (formalitas), menyimpang daripada aturan formal yang telah diputuskan, telah ditentukan. Tetapi anggota Panitia Kecil berkata: 'Apakah arti formalitas di dalam zaman gegap gempita sekarang ini. Apakah arti formalitas terhadap desakan sejarah sekarang ini. Apa arti formalitas jika Sekutu telah mendirikan Netherlands Indies Civil Administration (NICA), telah menyerbu ke dalam daerah Tanah Air kita dan membahayakan Indonesia Merdeka! Apakah arti formalitas jikalau di kanan kiri kita mengguntur menggelegak gempa-petir-halilintar, meriam, bom, dinamit?' Saudara-saudara sekalian, Panitia Kecil berpendapat, bahwa jika formalitas tidak sesuai dengan dinamika sejarah, maka harus diubah formalitas itu, harus diganti formalitas itu, harus dibongkar formalitas itu."

Saat ada beberapa anggota BPUPK pada 11 Juli 1945 mengusulkan untuk mengubah redaksi, Bung Karno tetap teguh berusaha mempertahankan. Bahkan pada 16 Juli 1945, ada dialog yang berat dan seolah ada kebuntuan saat pembahasan 'lembaga kepresidenan', Bung Karno dengan berlinang air mata, mengimbau agar yang tidak setuju terhadap rumusan tersebut hendaknya sedia berkorban meninggalkan pendapatnya tentang hal itu demi persatuan Indonesia. Dengan demikian kesepakatan Piagam Jakarta sebagai landasan penyusunan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sampai berakhirnya sidang pleno BPUPK pada 17 Juli 1945.

Posisi landasan etis

Sebagai pengusul Pancasila dalam sidang BPUPK pada 1 Juni 1945, Bung Karno tidak keberatan sila kelima yang berbunyi, 'Ketuhanan yang Maha Esa' diposisikan di sila pertama. Menurut Bung Hatta, perubahan tersebut tidak mengubah dasar negara atau ideologi. Pancasila tetap terdiri dari fundamental politik dan moral.

Dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni, fundamental moral jadi pengunci fundamental politik. Dalam Piagam Jakarta, fundamental moral menjadi pembuka fundamental politik. Untuk itulah landasan moral dan politik yang terkandung dalam Pancasila tidak dapat dipisahkan, baik dalam pemahaman maupun aktualisasinya. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semua warga negara Indonesia harus mengutamakan keutamaan hidup sebagai mahkluk yang ber-Tuhan.

Sebagai sesama elemen bangsa tidak saling mencurigai dan menegasi agar persatuan dan kemajuan bangsa Indonesia dapat direalisasikan. Kita semua memiliki tanggung jawab etis untuk memahami proses perumusan Pancasila secara objektif dan visioner. Sudah tentu peristiwa perumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta tidak bisa dipahami terpisah dari proses sidang BPUPK dan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Dan, dalam proses perumusan tersebut Bung Karno terlibat secara signifikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement