REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika
Praktik money politic atau politik uang berpotensi meningkat pada Pilkada 2020 karena digelar di tengah pandemi Covid-19. Apalagi, kepala daerah yang akan maju kembali dalam pilkada rawan menyalahgunakan kewenangan.
"Karena kondisi pandemi ini ekonomi kurang baik maka potensi money politic juga bisa tinggi dibanding kondisi pada pilkada-pilkada sebelumnya. Karena ada relasinya, relasi antara kondisi ekonomi dengan itu," ujar Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Abhan, dalam diskusi virtual 'Politik Uang di Pilkada 2020: Madu vs Racun?', Kamis (2/7).
Ia mengatakan, modus politik uang dapat berupa pembagian uang, pembagian sembako, dan pembagian voucher. Dalam kondisi Covid-19, modus politik uang juga bisa saja dalam bentuk pemberian bantuan alat kesehatan, alat pelindung diri (APD), maupun bantuan sosial (bansos).
Namun, Abhan menuturkan, tindakan politik uang harus memenuhi unsur mengajak pemilih untuk memilih kandidat calon kepala daerah yang bersangkutan sesuai ketentuan undang-undang. Sehingga dapat dibedakan antara sedekah dan politik uang.
Ia menjelaskan, ada perbedaan regulasi soal larangan politik uang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Menurut Abhan, larangan tindakan politik uang lebih tegas di UU Pilkada.
Pertama, dalam UU Pemilu, unsur yang dilarang bergantung pada tahapan pilkada yang sedang berlangsung. Sedangkan, dalam UU Pilkada, ketentuan unsur yang dilarang itu setiap orang, jadi tidak dibedakan antara tim kampanye dan calon kepala daerah.
"Di Undang-Undang 10 2016 unsurnya jelas setiap orang. Jadi siapapun bisa kena dugaan politik uang. jadi tidak mengenal tahapan kampanye, masa tenang maupun pada hari H pemungutan," tutur Abhan.
Kedua, dalam UU Pemilu sanksi dikenakan kepada pemberi uang atau materi. Sedangkan, dalam UU Pilkada, sanksi dijatuhi kepada dua pihak yakni pemberi dan penerima.
Di sisi lain, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy'ari mengatakan, permasalahan politik uang yang masih marak terjadi di lapangan tidak hanya tugas Bawaslu dan KPU, melainkan juga tanggung jawab partai politik dan masyarakat. Apabila masyarakat menyatakan tidak mau menerima misalnya serangan fajar, maka budaya tersebut akan tertanam di masyarakat untuk menolak segala praktik money politic.
Menurut Hasyim, dari segi aspek hukum dan kelembagaan penegakan hukum masih banyak terdapat celah. Regulasi soal larangan politik uang yang tidak diatur rigid dalam undang-undang karena bergantung pada kepentingan pembuat aturan itu sendiri.
Sebab, setiap pengaturan dan larangan itu tentunya menyasar peserta pilkada atau pemilu, termasuk partai politik. Sementara, pembuat undang-undang itu sendiri merupakan anggota partai politik.
"Ketika ada orang yang mau menentang penegakan hukum terhadap money politic bisa menjadi alat atau sarana untuk menolak kerangka hukum itu. Karena aspek pembuktiannya kemudian perdebatan hukum sampai ke situ," ujar Hasyim dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Dian Permata menyebutkan, hasil penelitian menunjukkan mayoritas masyarakat mengaku mau menerima vote buying atau jual beli suara atau politik uang saat gelaran pilkada. Dari 440 responden, sebanyak 60 persen responden mengaku bersedia jika hak suaranya dibeli peserta pilkada dengan nominal tertentu.
Data itu diolah Institute Riset Indonesia sebelum masa pandemi Covid-19, medio Januari-Maret 2020. Masing-masing satu daerah di Pulau Sumatera, di Jawa, dan di Pulau Kalimantan yang melaksanakan Pilkada 2020, nama daerah disamarkan. Jumlah responden 440 dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 4,47 persen.
Kemudian, SPD menemukan, setidaknya ada tiga alasan masyarakat mau menerima politik uang. Sebanyak 35-46 persen responden beralasan menerima vote buying karena menganggap hal itu sebagai rezeki yang tidak bisa ditolak.
Selanjutnya, 25-30 persen responden menyebut uang itu sebagai kompensasi karena pada hari pencoblosan pemilih tidak bekerja. Sebanyak 9-16 persen responden mengaku menerima uang tersebut untuk menambah kebutuhan sehari-hari.
Dian mengatakan, vote buying tidak hanya berbentuk uang, tetapi juga bisa barang. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan, mayoritas responden yakni 64-76 persen lebih memilih uang ketimbang barang.
Di Pulau Sumatera dan Kalimantan, besaran uang vote buying berkisar antara Rp 51 ribu sampai Rp 100 ribu. Sedangkan, di Pulau Jawa responden memilih menerima uang lebih dari Rp 100 ribu.
Sementara itu, apabila vote buying berupa barang, calon kepala daerah biasanya akan memberikan sembako atau bibit/pupuk/alat pertanian dan perikanan sesuai musim yang sedang berlangsung. Namun demikian, menurut Dian, hasil penelitian menunjukkan, tidak semua pemilih mau memberikan suaranya pada kandidat yang memberikan uang.
"Besaran efektivitas vote buying yang ditawari oleh kandidat atau yang diterima pemilih hingga mau menerima ajakan untuk memilih si kandidat di Sumatera 57 persenan, ini sangat berpengaruh, Kalimantan 60 persenan, dan 50 persenan di Jawa," kata Dian.