Kamis 02 Jul 2020 17:26 WIB

Djoko Tjandra yang tak Kunjung Berhasil Dijerat

Pemerintah sedang membuat tim gabungan untuk memburu Djoko Tjandra.

Djoko S Tjandra merupakan buronan kasus cessie Bank Bali sejak tahun 2009. Pada 8 Juni 2020 Djoko Tjandra disebut berada di Indonesia untuk mengurus PK kasusnya di PN Jaksel.
Foto: Antara
Djoko S Tjandra merupakan buronan kasus cessie Bank Bali sejak tahun 2009. Pada 8 Juni 2020 Djoko Tjandra disebut berada di Indonesia untuk mengurus PK kasusnya di PN Jaksel.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Dian Fath, Antara

Kembalinya buronan cessie Bank Bali Djoko Tjandra mencoreng wajah Kemenkumham. Lagi-lagi Imigrasi Indonesia kecolongan buronan yang dicari sejak lama.

Baca Juga

Menangapinya, Kemenkumham dan Kejagung membuat tim terkait keberadaan buron Djoko Tjandra. "Kami sampai sekarang sedang membentuk tim dengan Kejaksaan. Jadi kita udah cek semua data permintaan kita baik laut, misal di Batam. Baik udara, Kualanamu, Ngurah Rai dan lain-lain itu tidak ada sama sekali namanya Djoko Tjandra," kata Menkumham Yasonna Laoly di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/7).

Yasonna menyebut ada berbagai kemungkinan Djoko Tjandra lolos masuk ke Indonesia. Kemungkinan itu di antaranya melalui pintu ilegal atau jalan tikus, pemalsuan identitas paspor maupun upaya lainnya.

Di samping itu, menurut Yasonna, Djoko Tjandra sudah tidak masuk dalam red notice di Intepol sejak 2014. Sehingga, kata dia, seandainya Djoko masuk melalui jalur resmi pun tak bisa dihalangi langsung oleh Keimigrasian. Tim yang dibentuk pun akan meneliti segala kemungkinan, seperti pengubahan nama maupun kemungkinan lainnya.

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut narapidana dan buronan kelas kakap Djoko S Tjandra telah mengubah namanya menjadi Joko S Tjandra sehingga tidak terdeteksi oleh pihak imigrasi. "Djoko S Tjandra saat ini telah memiliki kewarganegaraan Indonesia dan mengubah nama Joko Soegiharto Tjandra melalu proses Pengadilan Negeri di Papua," ucap Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (2/7).

Djoko Tjandra pada 8 Juni 2020 telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Djoko Tjandra telah kabur dari Indonesia pada 2009 dan telah berpindah kewarganegaraan Papua Nugini.

"Perubahan nama awal dari Djoko menjadi Joko menjadikan data dalam paspor berbeda sehingga tidak terdeteksi oleh imigrasi. Hal ini pernah dibenarkan oleh Menkumham Yasonna Laoly bahwa tidak ada data pada imigrasi atas masuknya Djoko S Tjandra," ungkap Boyamin.

Menurut dia, Djoko Tjandra telah kabur dan menjadi buronan sejak 2009 dan paspornya hanya berlaku 5 tahun. Sehingga semestinya sejak 2015 ia tidak bisa masuk ke Indonesia.

"Atau jika masuk Indonesia mestinya langsung ditangkap petugas imigrasi karena paspornya telah kedaluwarsa," kata Boyamin.

Mengacu nama barunya, maka upaya hukum PK oleh Joko di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan semestinya tidak diterima Mahkamah Agung (MA). Sebab identitasnya berbeda dengan putusan persidangan dalam perkara cessie Bank Bali.

"Atas dasar sengkarut imigrasi ini, kami akan segera melaporkan kepada Ombusdman RI guna menelusuri maladministrasi atas bobolnya sistem kependudukan dan paspor pada sistem imigrasi yang diperoleh Djoko S Tjandra," tuturnya.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD juga sudah memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menangkap narapidana dan buronan kelas kakap, Djoko S Tjandra. Mahfud mengatakan telah menyampaikan permintaannya secara langsung kepada Jaksa Agung melalui sambungan telepon.

"Saya tadi sudah bicara dengan Jaksa Agung supaya segera menangkap buronan Djoko Tjandra. Ini adalah buronan yang masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Oleh sebab itu Kejaksaan Agung maupun Kepolisian harus segera menangkapnya. Tidak ada alasan bagi orang yang DPO meskipun dia mau minta PK lalu dibiarkan berkeliaran," ucapnya menegaskan.

Dikatakannya, berdasarkan undang-undang orang yang mengajukan Peninjauan Kembali harus hadir dalam pengadilan. Jika tidak, maka Peninjauan Kembali tidak bisa dilakukan.

"Oleh sebab itu, ketika hadir di Pengadilan, saya minta Polisi dan Kejaksaan untuk menangkapnya dan segera dijebloskan ke penjara sesuai dengan putusan pengadilan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) Jadi tidak ada penundaan hukuman bagi orang yang sudah minta PK. Itu saja demi kepastian hukum dan perang melawan korupsi," tutur Mahfud.

Berhasil masuknya Djoko Tjandra ke Tanah Air disebut Yasonna H Laoly karena Kemenkumham tak memiliki sistem data dan informasi terkait.  Yasonna mengatakan, berdasarkan data dan sistem yang dimiliki Imigrasi tak ada yang menjelaskan bahwa Djoko Tjandra telah kembali ke Indonesia.

"Dari mana data yang menyebut bahwa dia (Djoko Tjandra) 3 bulan di sini, tidak ada datanya kok," ujar Yasonna di Jakarta, Selasa (30/6).

"Di sistem kami tidak ada, saya tidak tahu bagaimana caranya. Sampai sekarang tidak ada. Kemenkumham tidak tahu sama sekali (Djoko Tjandra) di mana. Makanya kemarin kan ada dibilang ditangkap, kami heran juga. Jadi kami sudah cek sistem kami semuanya, tidak ada," katanya melanjutkan.

Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang menyampaikan, 6 poin kronologi status Djoko Soegiarto Tjandra, yang masuk daftar pencegahan dan DPO. Pertama, permintaan pencegahan atas nama Joko Soegiarto Tjandra oleh KPK pada 24 April 2008. Pencegahan ini berlaku selama 6 bulan.

Kedua, adanya red notice dari Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra pada 10 Juli 2009. Ketiga, pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.

"Permintaan DPO dari Sektetaris NCB Interpol Indonesia terhadap Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan (WN Papua Nugini) pada 12 Februari 2015. Ditjen Imigrasi menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor Imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB  Interpol dan Kementerian Luar Negeri," jelas Arvin.

Kemudian, pada 5 Mei 2020, ada pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa dari red notice atas nama Djoko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data  terhitung sejak tahun 2014 karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI. Oleh karenanya, Ditjen Imigrasi menindaklanjuti dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari  Sistem Perlintasan pada 13 Mei 2020.

"Pada 27 Juni 2020, terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung RI. Sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO. Di samping kronologi di atas, perlu disampaikan juga bahwa atas nama Djoko Soegiarto Tjandra alias Joe Chen tidak ditemukan dalam data perlintasan," ujar Arvin Gumilang.

Djoko Tjandra merupakan terpidana kasus cessie Bank Bali sebesar Rp 546 miliar. Dia meninggalkan Indonesia pada 10 Juni 2009, atau sehari sebelum Mahkamah Agung (MA) menyatakan dia bersalah.

MA menjatuhkan hukuman selama dua tahun penjara serta denda Rp 15 juta berikut penyitaan terhadap uangnya yang disimpan di Bank Bali. Besar uang yang disita senilai Rp 546,166 miliar.

Kasus yang melilit Djoko Tjandra berawal dari Januari 1999. Djoko melakukan perjanjian pengalihan piutang atau cessie dengan Bank Bali. Cessie dibuat sebesar Rp 38 miliar.

Pada September 1999, cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra diusut Kejaksaan Agung. Hasilnya, PN Jakarta Selatan memutuskan Djoko Tjandra bebas dari tuntutan.

Pada 2008, Kejaksaan kembali mengajukan PK ke MA. Akhirnya MA memutuskan Djoko Tjandra bersalah.

photo
Kinerja KPK menjadi sorotan publik. - (Republika/Berbagai sumber diolah)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement