Jumat 26 Jun 2020 19:12 WIB

Dugaan Politisasi Bansos di 12 Provinsi dan 23 Dati II

Pembagian bansos diduga dipolitisasi dengan menempelkan gambar kepala daerah.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja (tengah)
Foto: Republika/Prayogi
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat, dugaan politisasi bantuan sosial (bansos) oleh kepala daerah yang berpotensi mencalonkan diri di Pilkada 2020 terjadi di 12 provinsi dan 23 kabupaten/kota. Dugaan pelanggaran pilkada ini berdasarkan laporan maupun hasil pengawasan jajaran Bawaslu.

"Terdapat pembagian bansos dan diduga dipolitisasi dengan menempelkan gambar kepala daerah yang berpotensi menjadi petahana," ujar Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja saat dikonfirmasi Republika, Jumat (26/6).

Dia menyebutkan, daerah-daerah yang terdapat dugaan politisasi bansos antara lain Provinsi Bengkulu dan Kota Bengkulu; Indragiri dan Pelalawan, Riau; Ogan Ilir, Sumatera Selatan; Jambi, Lampung Timur, Pesawaran, dan Way Kanan, Lampung; Lampung Selatan; Kabupaten Pandeglang, Banten; Pangandaran dan Cianjur, Jawa Barat; Sumenep dan Jember, Jawa Timur; Klaten, Semarang, dan Purbalingga, Jawa Tengah; Gorontalo; serta Keerom (Papua).

"Dan beberapa dikirim ke Mendagri. Ada dua di NTB yang rekomendasi ke Kemendagri, Lombok Utara dan Sumbawa," lanjut Bagja.

Namun, Bawaslu tidak bisa melakukan penindakan pelanggaran terhadap dugaan politisasi bansos tersebut. Pasalnya, saat ini, belum ada landasan hukum yang mengatur Bawaslu dapat menindaklanjuti dugaan pelanggaran oleh kepala daerah tersebut sebelum adanya penetapan calon.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur larangan terhadap gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon (paslon). Akan tetapi, UU Pilkada hanya mengatur larangan dan sanksinya apabila paslon sudah ditetapkan KPU.

Bagja meminta, dugaan pelanggaran politisasi bansos diselesaikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini melarang kepala daerah memanfaatkan program untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, yang juga bisa ditafsirkan kepentingan dalam kontestasi pilkada.

Untuk itu, dia meminta, ketegasan Menteri Dalam Negeri untuk menerapkan ketentuan UU Pemerintahan Daerah. Mendagri tak cukup hanya sekadar mengeluarkan imbauan kepada kepala daerah

Bagja mengatakan, kondisi pandemi Covid-19 tidak menurunkan tingginya jumlah pelanggaran Pilkada 2020. Beberapa catatan dugaan pelanggaran hingga 11 Mei 2020, terdapat 552 temuan, 108 laporan, dan 132 bukan pelanggaran.

"Pelanggaran administrasi ada 157, kode etik ada 24, pelanggaran pidana ada dua, dan 348 pelanggaran hukum lainnya seperti pelanggaran netralitas ASN," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement