Jumat 19 Jun 2020 19:46 WIB

Teror ke Novel Baswedan Seperti Bermata Dua

Teror ke Novel Baswedan sama dengan meneror KPK.

Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi
Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota KPK periode 2010-2015, Busyro Muqoddas, menyatakan teror terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, sebagai teror bermata dua. Teror itu untuk sang penyidik maupun bagi lembaga penegak hukum .

"Karena (penyerangan) Novel Baswedan tidak bisa dilepaskan duduk tugas dan tanggung jawabnya sebagai penyidik di KPK," kata dia, dalam diskusi virtual "Sengkarut Persidangan Penyerang Novel Baswedan" yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW), di Jakarta, Jumat (19/6).

Baca Juga

Baswedan diserang di dekat rumahnya, di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara,pada 11 April 2017. Akibat serangan memakai air keras kepada mukanya itu, dia kehilangan mata kirinya.

Selang dua tahun, Kepolisian Indonesia mengumumkan dua orang penyerang dia, yaitu oknum polisi bernama Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, yang menyerang dia dengan motif dendam masa lalu. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara dalam sidang 11 Juni 2020 lalu menuntut satu tahun penjara kepada mereka berdua.

Muqoddas lalu membandingkan kasus Baswedan dengan pembunuhan wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, pada 1996. Menurut dia, yang menewaskan wartawan ini latar belakang pemberitaan dugaan korupsi di Pemda Bantul.

"Yang menarik ketika pengacara terdakwa Iwik yaitu pengacara yang independen berhasil mengungkap sisi sisi gelap dari apa yang didakwakan kepada Iwik ini, akhirnya sidang berubah dari skenario oleh polisi sampai akhirnya jaksa menuntut bebas saudara Iwik dan hakim membebaskan terdakwa Iwik dari semua dakwaan," kata dia.

Namun menurut dia, berbeda dengan kasus Novel. "Artinya jaksa di Yogya waktu itu nampak berpikir objektif lalu juga menampakkan nurani sebagai penegak moralitas hukum yang objektif demikian juga hakimnya," kata dia.

"Yang jadi catatan saya adalah jaksa ini wakil negara di bawah Kejagung, Kejagung di bawah Presiden. Dalam kasus Iwik jaksa di Bantul Yogja menuntut bebas tapi dalam kasus teror Novel ini jaksa justru menuntut satu tahun. Ada apa di balik semua itu?" tanyanya.

Ia menyatakan, persidangan belum final meski peran jaksa sudah selesai dengan dibacakannya tuntutan itu. "Mampukah wahai para aktor intelektual di balik persidangan ini tidur pulas dan tak takutkan doa Novel yang tertindas?" kata dia.

Sedangkan anggota KPK periode 2007-2011, Mochammad Jasin, mengatakan kasus Baswedan dianggap Kepolisian Indonesia dan Kejaksaan Agung sebagai perkara penganiayaan biasa yang tidak terkait dengan tugasnya sebagai penyidik KPK. "Saya tidak ingin mempengaruhi proses hukum, kita hargai prosesnya, tapi kita boleh mengkritik. Bila kondisi ini dibiarkan, bisa juga penilaian Indeks Persepsi Korupsi juga jauh berubah, jauh, penilaian publik tidak bagus, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi juga tidak bagus, UU KPK juga tidak bagus," kata dia.

Ia mendorong agar Presiden Jokowi sebagai kepala negara mengingatkan untuk pelaksanakan penegakan hukum. "Presiden sebagai kepala negara bisa mengingatkan, bukan bermaksud mengintervensi. Ini sudah keterlaluan sandiwaranya, bukan intervensi proses hukum yang sedang berjalan tapi ini suara rakyat yang sudah geram," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement