Rabu 10 Jun 2020 18:07 WIB

Eksepsi Benny Tjokro: Jiwasraya Sudah Merugi Sejak 2006

Benny Tjokro hari ini membacakan eksespsi atas dakwaan pekara korupsi Jiwasraya.

Terdakwa kasus dugaan korupsi Jiwasraya Beny Tjokrosaputro.
Foto: Prayogi/Republika
Terdakwa kasus dugaan korupsi Jiwasraya Beny Tjokrosaputro.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro mengatakan, PT Asuransi Jiwasraya (AJS) sudah merugi sejak 2006. Sehingga tidak adil bila kerugian tersebut ditimpakan kepada dirinya yang kini berstatus terdakwa kasus korupsi Jiwasraya.

"Jiwasraya sudah rugi sejak 2006, di sini saya menjadi korban ketidakadilan seluruh kerugian Jiwasraya dibebankan kepada diri saya dan para terdakwa lain, padahal banyak penyebab lain yang mengakibatkan kerugian Jiwasraya yang sudah tercatat sejak 2006," kata Benny saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (10/6).

Baca Juga

Dalam perkara ini, Benny bersama lima orang terdakwa lainnya yaitu Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) 2008-2018 Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018 Hary Prasetyo, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan 2008-2014, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartomo Tirto didakwa melakukan tujuh perbuatan yang merugikan keuangan negara sebesar Rp16,807 triliun atas pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya periode 2008-2018.

Benny mengutip pemberitaan media massa mengatakan Kepala Badan Pemeriksaan Keuangan Agung Budi Sampurna mengatakan kebobrokan PT Asuransi Jiwasraya dari rentang waktu 2006-2019.

"Maka sangat tidak berdasar bila kerugian Jiwasraya sejak 2006 ditimpakan jaksa penuntut umum kepada saya dan para terdakwa lain. Tidak adil bila harta saya dan PT Hanson International, Tbk sebagai perusahaan publik disita untuk mengembalikan kerugian Jiwasraya sejak 2006. Seperti pepatah 'orang lain makan nangkanya, kita yang kena getahnya'," ucap Benny.

Benny juga mempertanyakan mengapa Menteri BUMN sebagai pemegang saham mayoritas Jiwasraya masih tetap mempertahankan direksi yang sudah merugikan negara sejak 2006 dan malah patut diduga sudah memberikan akta Aquit Et De Charge (Akta Membebaskan Dari Gugatan Hukum) kepada Direksi Jiwasraya pada 2018 lalu. Selanjutnya, Benny mempertanyakan mengenai kejanggalan hasil audit BPK dalam surat dakwaannya karena perkara korupsi PT Jiwasraya terjadi pada 2008-2018, tapi laporan keuangan audit PT AJS tahun 2018 saja belum ada.

"Jadi bagaimana auditor BPK mengetahui portofolio investasi PT AJS per 31 Desember 2018 kalau laporan keuangan PT AJS 2018 belum ada dan sudah dikenakan sanksi oleh OJK pada pakhir 2019. Bagaimana BPK bisa melaksanakan pemeriksaan investigatif sampai 2018 kalau dasar laporan perusahaan yang diperiksa tidak ada?" ujar Benny mempertanyakan.

Benny juga berpendapat menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kerugian negara harus nyata dan pasti, bukan berdasarkan perkiraan. Sehingga, ia meminta majelis hakim menilai bahwa jaksa sendiri masih ragu dan tidak yakin mengenai jumlah kerugian negara dari perkara Jiwasraya karena semua tabel di surat dakwaan sampai 31 Desember 2019 dimana portofolio saham-sahamnya masih ada atau masih berupa potential loss belum actual loss.

"Kenapa perhitungan kerugian negara oleh BPK memakai total loss sehingga semua portofolio saham dan reksadana yang ada dianggap nilainya nol? Padahal portofolio saham-sahamnya masih ada alias belum cut loss atau masih berupa potential loss. Saya juga sudah mengugat BPK terkait hasil audit kerugian negara dalam surat gugatan," tutur Benny.

Selain didakwa melakukan korupsi, jaksa Kejaksaan Agung juga mendakwa Benny Tjokrosaputro dengan pasal tindak pidana pencucian uang yang berasal dari korupsi Jiwasraya.

"Khusus mengenai tuduhan TPPU maka terlebih dulu perlu saya sampaikan bahwa saya telah mengikuti tax amnesty pada 2017 dengan melaporkan seluruh harta kekayaan saya dimana saya mendeklarasikan semua harta saya sebesar Rp5,3 triliun dengan pajak yang dibayar sebesar Rp161 miliar kepada negara," kata Benny.

Benny mengaku sudah mendapat surat keterangan pengampunan pajak no Ket-18340/PP/WPJ.32/2017 tertanggal 10 April 2017 dari kantor wilayah DJP Jawa Tengah II sesuai NPWP.

"Hal ini menunjukkan, tidak ada yang saya sembunyikan dan tutup-tutupi mengenai asal-usul harta kekayaan saya sehingga sangat tidak berdasar tuduhan TPPU terhadap diri saya. Saya juga telah memperoleh penghargaan sebagai salah satu wajib pajak terbaik oleh kantor pajak wilayah Jawa Tengah," kata Benny menjelaskan.

Menurut Benny, dalam dakwaan juga ada "misteri" 4 tahun yang hilang yaitu 2008-2012. Di mana pada dakwaan pertama halaman 2 disebut waktu peristiwanya 2008-2018 tapi dalam dakwaan kedua tentang TPPU pada halaman 151 disebutkan peristiwanya hanya 2012-2018 saja.

"Kemana peristiwa 2008-2012 terkait dakwaan TPPU? Hal yang tidak konsisten dan membingungkan. Mohon 4 tahun yang hilang tersebut dibatalkan Yang Mulia atau setidak-tidaknya diperintahkan kepada jaksa untuk mengubah dakwaannya mulai 2012 agar terdapat konsistensi karena ini terkait penyitaan aset-aset yang saya peroleh sejak 2008-2012 yang harusnya dilepaskan oleh Kejaksaan," ujar Benny menambahkan.

Dalam surat dakwaan, jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung menyebut Benny Tjokrosaputro sebagai pihak yang mengatur dan mengendalikan instrumen pengelolaan investasi saham dan Reksa Dana PT. AJS pada 2012-2018. Benny juga pemilik dan pengendali perusahaan lain seperti PT Pelita Indo Karya, PT Royal Bahana Sakti, PT Surya Agung Maju, PT Buana Multi Prima, PT Lentera Multi Persada, PT Mandiri Mega Jaya dan beberapa perusahaan lainnya.

Sejak 2008 sampai 2018 PT. AJS telah mengumpulkan dana dari hasil produk PT. AJS berupa produk non saving plan, produk saving plan, maupun premi korporasi yang keseluruhan bernilai kurang lebih Rp91.105.314.846.726,70. Dalam pengelolaan investasi saham dan Reksa Dana PT. AJS periode 2008- 2018 yang diatur dan dikendalikan oleh Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat melalui Joko Hartono Tirto telah menimbulkan kerugian negara Cq PT. AJS sebesar Rp16.807.283.375.000 sebagaimana laporan BPK pada 9 Maret 2020.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement