Rabu 10 Jun 2020 00:03 WIB

Rencana Kenaikan Gaji KPK, ICW: Potensi Konflik Kepentingan

ICW mendesak pimpinan KPK menunjukkan sikap dan prinsip integritas yang jelas.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan

REPUBLIKA.CO.ID, ICW: JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, akan ada potensi konflik kepentingan dalam pembahasan kenaikan gaji pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini, KPK dan Kementerian Hukum dan HAM diketahui sedang membahas hal tersebut.

"Pembahasan kenaikan gaji Pimpinan KPK dengan pihak Kemenkumham menimbulkan potensi kuat terjadinya konflik kepentingan. Pada situasi seperti itu, Pimpinan KPK tidak akan dapat menghitung dan memutuskan secara objektif berapa gaji yang mereka layak dapatkan," ujar Kurnia dalam pesan singkatnya, Selasa (9/6).

ICW pun mendesak, agar Pimpinan KPK menunjukkan sikap dan prinsip yang jelas akan nilai-nilai integritas, sesuatu yang selama ini menjadi nilai lebih KPK daripada Lembaga lain, dengan menolak secara resmi pembahasan kenaikan gaji Pimpinan KPK. 

"Jika Pimpinan KPK hendak membahas hal tersebut, agar tidak menimbulkan konflik kepentingan, kebijakan itu baru bisa berlaku bagi Pimpinan KPK berikutnya," tegasnya lagi.

ICW, sambung Kurnia, juga menilai tak sebanding kenaikan gaji dengan kinerja KPK era kini. Bahkan, beberapa waktu lalu lembaga survei Indikator melansir data terkait tingkat kepercayaan publik pada institusi negara, temuannya menunjukkan, tingkat kepercayaan publik kepada KPK menurun dari 81,3 persen menjadi 74,3 persen. 

"Tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan Firli Bahuri yang sebenarnya minim akan prestasi. Masyarakat terlalu banyak dihadapkan dihadapkan dengan serangkaian kontroversi KPK," tegas Kurnia.

Selain itu, pembahasan juga dilakukan pada momentum yang tidak tepat. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini Indonesia tengah berada di situasi pelik akibat wabah Covid-19. 

Semestinya sebagai pejabat publik para pimpinan KPK memahami dan menyadari bahwa penanganan wabah Covid-19 di Indonesia membutuhkan alokasi dana yang luar biasa besar, sehingga saat ini bukan waktunya untuk memikirkan diri sendiri dengan permintaan kenaikan gaji tersebut. Bisa dibilang pembahasan ini bertolak-belakang dengan pesan moral KPK.

Diketahui, KPK dalam berbagai kegiatan selalu menyuarakan untuk menjalankan pola hidup sederhana. Bahkan poin soal “sederhana” ini juga tercantum dalam sembilan nilai integritas yang dibuat KPK. 

"Mengingat gaji Pimpinan KPK saat sudah tergolong besar, yakni Rp 123 juta bagi Ketua KPK dan Rp 112 juta bagi Wakil Ketua KPK berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2015 tentang Hak Keuangan, Kedudukan, Protokol, dan Perlindungan Keamanan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, tentu menjadi tidak tepat jika Pimpinan KPK terus ‘mengemis’ untuk mendapatkan kenaikan gaji," ujar Kurnia 

Sebelumnya pada April lalu, Firli menegaskan, saat ini KPK  tidak akan melakukan pembahasan terkait hak keuangan dan fasilitas pimpinan KPK. Seluruh jajaran lembaga anti rasuah, lanjut Firli, fokus untuk melakukan pencegahan, koordinasi dan monitoring pengadaan barang dan jasa dalam upaya penanganan panyebaran Covid-19.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, pada dasarnya saat ini KPK tidak mengambil inisiatif untuk melakukan pertemuan tersebut. Ali menjelaska, tim di Kesetjenan KPK mengikuti rapat melalui video confrence pada tanggal 29 Mei 2020  untuk memenuhi undangan dari Kemenkumham sebelumnya.

"Undangan rapat koordinasi penyusunan RPP tersebut tertanggal  22 Mei 2020 dan ditujukan pada unsur KPK  yaitu Sekjen, Karo Hukum dan Karo SDM," terangnya. 

Ali mengatakan, untuk menghormati undangan itu, KPK hadir dan menyampaikan arahan pimpinan KPK bahwa pembahasan hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah apakah akan dilanjutkan kembali penyusunannya.

Ali pun mengungkapkan, beberapa poin yang dibahas di dalam rapat tersebut. Pertama, surat dari Kemenkum HAM  kepada kementrian PAN dan RB masih menggunakan nomenklatur RPP Perubahan sehingga RPP tersebut akan menjadi RPP Penggantian.

Terkait dratf RPP penggantian belum ada kajian akademis mengenai jumlah besarannya. Untuk kajian akademik sendiri, lanjut Ali, akan segera diserahkan kepada Kementrian Hukum dan HAM  agar bisa ditindaklanjuti dengan permintaan penilaian kepada Kementrian PAN dan RB.

Dikonfirmasi ihwal hal ini, Kementrian Hukum dan HAM masih belum memberikan jawabannya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement