Ahad 07 Jun 2020 19:45 WIB

Terancam tak Lolos PT, Parpol Non-Parlemen Tolak RUU Pemilu

Ambang batas parlemen itu dinilai terlalu tinggi baik di pusat maupun daerah.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Parpol. Partai-partai politik non-parlemen menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu yang saat ini tengah disusun oleh DPR, khususnya terkait besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Parpol. Partai-partai politik non-parlemen menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu yang saat ini tengah disusun oleh DPR, khususnya terkait besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai-partai politik non-parlemen menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu yang saat ini tengah disusun oleh DPR, khususnya terkait besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Ambang batas parlemen itu dinilai terlalu tinggi baik di pusat maupun daerah. 

Sekjen Hanura I Gede Pasek menyesalkan adanya RUU tersebut lantaran semangat pembuatan RUU Pemilu bukan untuk membuat demokrasi ke depan semakin berkualitas, tetapi hanya mengutak-atik aturan untuk mengurangi pesaing. "Betapa banyak suara rakyat akan hilang hanya karena isi pasal untuk membangun oligarki partai," kata Pasek saat dihubungi Republika, Ahad (7/6).

Baca Juga

Ia melihat ada kecenderungan demokrasi di Indonesia akan kembali pada era orde baru jika RUU tersebut disahkan. Selain itu jika RUU tersebut nanti disahkan, ia menilai, berpotensi membuat aspirasi rakyat menjadi semakin terbatas lantaran hanya dikuasai beberapa orang saja.

"Semoga saja RUU ini tidak diciptakan untuk menjadi konspirasi virus demokrasi yang lebih ganas dari Covid 19," ujarnya.

Sekjen Partai Perindo Ahmad Rofiq menyoroti terkait puluhan juta suara rakyat yang akan hilang jika parliamentary threshold (PT) dipaksakan terlalu tinggi dan tidak ada kanalisasi terhadap suara rakyat yang tidak dapat mengantar parpol ke parlemen. "Mestinya harus ada wacana bahwa PT diberlakukan dan partai non-PT dapat masuk ke senayan dengan membentuk fraksi gabungan dengan partai non PT. Hal ini untuk menjamin keberlangsungan demokrasi yang sangat menghargai suara rakyat," kata Rofiq melalui WhatsApp kepada Republika.

Kekhawatiran serupa juga disampaikan Sekjen Partai Keadilan dan Pesatuan Indonesia (PKPI) Verry Surya Hendrawan. Menurut Verry besaran PT yang terlalu tinggi merupakan upaya yang tidak elok dan dinilai mengkerdilkan semangat demokrasi yang mengakomodasi semua aspirasi rakyat.

"Perlu diingat bahwa gabungan suara nasional parpol non DPR RI dari pileg 2019 lalu adalah sebanyak 13,6 juta. Ini sangat besar dan saat ini hangus begitu saja, maka setiap upaya untuk menaikkan PT dapat diasumsikan sebagai upaya memberangus setidaknya 13,6 juta suara ini, dan bahkan akan memperbesar jumlah golput," tegasnya.

Sebelumnya sebanyak 7 sekjen parpol non parlemen menggelar pertemuan secara daring, Sabtu (6/6) malam. Seluruh sekjen kompak menolak RUU Pemilu tersebut.

Sekjen Partai Berkarya, Priyo Budi Santoso menekankan pada potensi resiko jumlah suara pemilih yang hilang. "Menjadi kegelisahan bersama, tentang besarnya kemungkinan suara pemilih yang hangus. Kami merasa wajib hadir menjadi penyeimbang informasi ke masyarakat; bahwa resiko (hangusnya puluhan juta suara) itu nyata adanya," kata Priyo dalam keterangan pers kepada Republika.

Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Ferry Noor mengungkapkan fakta bahwa kondisi yang relatif sama dihadapi di Tahun 2009, 2014 dan 2014. "Ya berproses di MK (lagi). Tapi apa kita akan terus menerus buang-buang energi seperti ini, setiap 5 tahun? Hanya untuk melawan arogansi dan hasrat berkuasa yang berlebihan ini?" ungkapnya.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh 7 Sekjen yaitu Priyo Budi (Berkarya), Afriansyah Ferry Noor (PBB), I Gede Pasek Suardika (Hanura), Abdullah Mansuri (Garuda), Ahmad Rofiq (Perindo), Raja Juli Anthon (PSI),  dan Verry Surya Hendrawan (PKPI). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement