Jumat 05 Jun 2020 19:58 WIB

Di Balik Tuduhan Dana Haji untuk Perkuat Rupiah

Tuduhan dana haji digunakan memperkuat rupiah adalah fitnah yang sangat keji.

Tuduhan dana atau uang jamaah haji yang dikelola pemerintah digunakan sebagai sarana memperkuat rupiah dipandang sebagai fitnah.
Foto: EPA
Tuduhan dana atau uang jamaah haji yang dikelola pemerintah digunakan sebagai sarana memperkuat rupiah dipandang sebagai fitnah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fuji Eka Permana, Lida Puspaningtyas

Hari ini, Jumat (5/6), rupiah berhasil diperdagangkan di angka Rp 13 ribu. Yakni untuk bid sekitar Rp 13.855 dan offer Rp 13.960 per dolar AS.

Baca Juga

Penguatan rupiah namun sebelumnya sempat dibarengi rumor bisa terjadi karena faktor pembatalan keberangkatan haji 2020. Isu diembuskan yang mengatakan pemerintah menggunakan dana jamaah haji yang sudah dilunasi untuk memperkuat rupiah.

Jumlah dana haji dalam bentuk valuta asing memang tidak sedikit. Dana kelolaan jamaah haji nilainya lebih dari Rp 135 triliun per Mei 2020 dalam bentuk rupiah dan valuta asing.

Wakil Menteri Agama (Wamenag), KH Zainut Tauhid Sa'adi, menepis tuduhan uang jamaah haji digunakan pemerintah untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Menurutnya tuduhan tersebut adalah fitnah.

KH Zainut menjelaskan alasan pembatalan keberangkatan jamaah haji Indonesia tahun 2020. Sejak awal Maret, virus corona atau Covid-19 mewabah di Indonesia. Wabah ini telah berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk layanan sosial keagamaan di bidang penyelenggaraan ibadah haji. Kementerian Agama (kemenag) membentuk Pusat Krisis Haji 2020 melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 392 Tahun 2020.

Pusat Krisis Haji 2020 diberi mandat untuk merancang, menyusun dan mengkoordinasikan mitigasi krisis pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020. Tim ini telah menyusun dokumen lengkap skenario mitigasi penyelenggaraan ibadah haji, yang disusun mengikuti perkembangan dan dinamika Covid-19, baik di Arab Saudi maupun di Indonesia hingga akhir April.

"Ada tiga skema penyelenggaraan ibadah haji disiapkan, pertama ibadah haji diselenggarakan normal, kedua penyelenggaraan haji dengan pembatasan kuota, ketiga penyelenggaraan haji tahun 2020 dibatalkan," kata KH Zainut kepada Republika.co.id, Jumat (5/6).

Wamenag menyampaikan, pada akhirnya Kemenag mengambil keputusan untuk membatalkan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 demi melindungi keselamatan jiwa jamaah dan petugas haji dari wabah Covid-19. Serta karena pentimbangan tidak cukup waktu untuk menyiapkan teknis penyelenggaraan haji tahun ini. Sebab faktanya sampai sekarang Kementerian Haji Arab Saudi belum juga ada kepastian terkait hal tersebut.

Terkait kebijakan pembatalan keberangkatan jamaah haji reguler dan khusus, Kemenag menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 Tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jamaah Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441 H/2020 M.

KMA tersebut merupakan payung hukum yang mengatur hal ihwal yang berhubungan dengan akibat hukum yang timbul dari pembatalan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020. Antara lain hak jamaah haji yang telah melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) tahun 2020 ini akan menjadi jamaah haji tahun 2021.

"Sementara setoran pelunasan Bipih yang sudah dibayarkan oleh jamaah haji, ada 2 pilihan, pertama setoran pelunasan Bipih yang dibayarkan akan disimpan dan dikelola secara terpisah oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Nilai manfaat dari setoran pelunasan itu akan diberikan oleh BPKH kepada jamaah haji yang bersangkutan paling lambat 30 hari sebelum pemberangkatan kloter pertama penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021. Kedua, setoran pelunasan Bipih dapat diminta kembali oleh jamaah haji," jelasnya.

Wamenag mengatakan, skema pengaturan Bipih tersebut juga sudah disampaikan oleh Menteri Agama pada saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI pada 11 Mei 2020 secara virtual. Komisi VIII DPR RI dapat menerima usulan Kemenag tersebut, sehingga menjadi kesimpulan dalam rapat.

"Untuk hal tersebut tidak benar jika ada tuduhan pembatalan keberangkatan jamaah haji karena ada motif-motif lain, seperti akan menggunakan uang jamaah untuk memperkuat nilai tukar rupiah," ujarnya.

KH Zainut menegaskan, tuduhan uang haji akan digunakan oleh pemerintah untuk memperkuat rupiah adalah fitnah yang sangat keji. Pendapat tersebut sama sekali tidak berdasar. Statemen seperti itu hanya mungkin keluar dari orang yang sudah terbiasa dengan pikiran kotor dan suka mencari sensasi.

"Kami sangat menghormati kritik sepanjang kritik tersebut dilandasi niat yang baik, objektif, dan argumentatif. Bukan kritik yang subyektif, asumtif dan hanya untuk mencari sensasi semata," jelanya.

Wamenag mengatakan, kebebasan berpendapat termasuk menyampaikan kritik dalam sebuah negara demokrasi adalah hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi. Tetapi hendaknya disampaikan dengan penuh tanggung jawab, bermartabat dan berbudaya.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo meluruskan isu dana haji yang disebut digunakan untuk memperkuat rupiah. Dana haji yang dikelola BPKH memang ada dalam bentuk valuta asing dan rupiah.

"Wajar dana haji ditempatkan dalam rupiah dan valuta asing, karena kebutuhannya," kata Perry dalam konferensi virtual pekanan, Jumat (5/6).

Ini membuat BPKH menjadi pelaku pasar layaknya korporasi lain, seperti ekportir dan importir yang juga punya kebutuhan valas. Perry mengatakan, BI selalu berkomunikasi erat dengan para pelaku pasar terkait operasi pasar tersebut.

Ia menegaskan, pemberitaan dana haji yang tidak jadi digunakan untuk stabilitas rupiah karena pembatalan pelaksanaan haji 2020 adalah tidak benar. Perry menyampaikan, akan sangat wajar saat suku bunga dan nilai valas rendah, maka ada pergeseran dari rupiah ke valas.

"Itu keputusan internal dari BPKH, mekanismenya masuk pasar sebagai pelaku pasar biasa saja, seperti bank, eksportir, importir, Pertamina," katanya.

Wewenang BI adalah menjamin mekanisme antar pelaku pasar berjalan kondusif. Untuk menjaga hal tersebut, BI selalu berkomunikasi dengan para pelaku pasar tersebut.

Jika konversi valas oleh BPKH ternyata berpengaruh pada nilai tukar, maka itu adalah efek tidak langsung. BI maupun BPKH menegaskan tidak ada kesengajaan untuk menggunakan dana haji dalam bentuk rupiah dan valas itu untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.

Kepala BPKH, Anggito Abimayu, juga menegaskan dana haji tidak akan digunakan untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan perhajian.  "Berita dana haji dipakai untuk penguatan rupiah itu misleading, kami tidak lakukan (konversi valas) untuk tujuan itu, tidak ada upaya secara langsung ke arah sana," katanya.

Pengelolaan pasokan rupiah maupun dolar merupakan kebijakan dari otoritas moneter yakni BI. Anggito menyampaikan, BPKH adalah instansi yang sangat membutuhkan kemampuan pengelolaan valuta asing.

Sehingga BPKH perlu berkomunikasi dengan otoritas pengelolaan valas yakni BI, di antaranya untuk pengadaan mata uang riyal dan dolar. Sama halnya seperti BPKH yang juga berhubungan dengan OJK untuk urusan bank syariah, dengan LPS terkait penjaminan tabungan haji, dan kerja sama dengan Kementerian Keuangan terkait dengan Islamic Development Bank.

"Kami tidak punya tugas untuk penguatan rupiah, tugas kami adalah menyediakan valas yang digunakan sebagai alat pembayaran, untuk dibayar ke Saudi dan lain-lain, ini sudah normal dilakukan puluhan tahun," katanya.

Pengelolaan valas dilakukan langsung oleh BPKH sesuai dengan kondisi yang ada. Misal saat nilai tukar rendah atau tinggi, BPKH punya pilihan baik konversi ke valas maupun ke rupiah. Ini tergantung pada nilai manfaat yang bisa dihasilkan lebih tinggi.

Misal saat ini saat yield deposito dolar hanya satu persen namun dalam rupiah untuk sukuk bisa 6-7 persen. Maka pilihannya bisa konversi ke rupiah karena BPKH mencari portofolio yang bisa lebih optimal dalam menghasilkan nilai manfaat.

photo
infografis deretan kasus jamaah haji gagal berangkat di Indonesia. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement