REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2011-2015, Bambang Widjojanto (BW) mengatakan, kasus mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi merupakan pintu masuk untuk membongkar mafia peradilan di Indonesia. Hal itu diungkapkan dalam diskusi virtual berjudul Akhir Pelarian Nurhadi: Apa yang Harus KPK Lakukan?
"Selama ini saat bicara mafia peradilan, tokohnya adalah hakim, tapi dalam kasus Nurhadi dalam posisi sebagai Sekjen MA adalah pintu masuk untuk seluruh kekuasaan bertemu dan mencari keadilan, semua orang datang ke dia (Nurhadi), kasus apapun harganya jadi mahal," kata Bambang Widjodjanto dalam diskusi di laman Facebook Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Jumat (5/6).
Selain Bambang, diuskusi juga diisi Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar, serta peneliti ICW Lalola Easter dan Kurnia Ramadhana.
Nurhadi ditangkap bersama menantunya Rezky Herbiyono di sebuah rumah di Jalan Simprug Golf 17 No 1, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada 1 Juni 2020. Nurhadi dan Rezky masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 14 Februari 2020.
Pintu masuk untuk membongkar mafia peradilan tersebut, menurut Bambang, juga tampak dari keikutsertaan keluarga Nurhadi dalam perkara korupsi ini. Yaitu keterlibatan istrinya Tin Zuraida dan menantunya Rezky Herbiyono.
Tin Zuraida bahkan pernah tercatat sebagai Staf Ahli bidang Politik dan Hukum Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB). "Ini adalah family corrupt, kejahatan dilakukan suami, istri, anak dan menantu, suatu kejahatan sempurna yang dilakukan bersama-sama," kata Bambang.
Menurut dia, profil keuangan Tin Zuraida sepanjang 2004-2009 juga tidak sesuai dengan penghasilannya karena ada uang keluar masuk sebanyak Rp 1 miliar per bulan. Pada 2010-2011, transaksinya meningkat lagi.
Bambang pun mendorong agar KPK menerapkan sangkaan tindak pidana pencucian uang kepada Nurhadi dan Rezky. Tin Zuraida, kata dia, dapat menjadi pintu masuk ke sangkaan lain. Ia menilai kasus Nurhadi tidak berdiri sendiri, karena lebih dari 100 hari Nurhadi dapat pergi ke mana-mana padahal dia mantan ASN biasa.
"Apakah dia punya kemampuan menyelinap luar biasa? Atau ada pihak lain yang membantu pelariannya ini harus diselidiki, tapi apakah KPK berani?" ungkap Bambang.
Bila pimpinan KPK saat ini tidak berani membongkar perkara Nurhadi lebih dalam, termasuk alur pelariannya, Bambang meminta agar pimpinan 2019-2023 menyerahkan jabatannya. "Feeling saya tidak akan diselidiki, kalau KPK tidak mengungkap relasi-relasi Nurhadi, maka KPK sudah tidak bisa dipercaya lagi sebagai lembaga penegak hukum. Bila pimpinan KPK saat ini tidak ada nyali untuk membongkar, letakkan saja jabatan itu dan serahkan kepada lain," tambah Bambang.
Bambang juga meminta agar pimpinan KPK tidak mengganti tim satuan tugas (satgas) yang menangani perkara Nurhadi. "Kalau sampai nanti satgas kasus ini diganti dan diberikan kepada penyidik yang tidak punya pengalamanan dan baru, tandanya pimpinan KPK mau melindungi Nurhadi," kata Bambang.
Tim satgas yang menangkap Nurhadi dan Rezky dalam pelariannya adalah tim Novel Baswedan, penyidik senior KPK yang menjadi korban penyerangan oleh dua polisi aktif.
Senada dengan BW, Haris Azhar menilai nama Tin Zuraida digunakan untuk penggelapan aset Nurhadi. Menurut dia, KPK bisa menetapkan paraler Nurhadi dan Rezky sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang.
Dalam penelusuran Haris, ditemukan sejumlah aset kepemilikan Nurhadi dan Rezky Herbiyono, yaitu 7 bidang tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah, 4 lahan usaha kelapa sawit, 8 badan hukum dalam berbagai jenis, baik PT hingga UD. Kemudian, 12 mobil mewah dengan harga puluhan miliar rupiah dan 12 jam tangan mewah dengan nilai puluhan miliar rupiah.
"Yang saya khawatirkan, pimpinan dan struktural KPK tidak mengembangkan kasus ini ke pihak lain, tapi fokus ke kasus Rp 46 mliar sehingga Nurhadi dapat bebas atau dihukum serendah-rendahnya dengan hanya memeriksa saksi-saksi yang lemah. Kalau mau membongkar mafia peradilan, bongkarlah kasus Nurhadi ini, ini babonnya," ungkap Haris.
KPK menetapkan Nurhadi bersama Rezky Herbiyono dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto sebagai tersangka pada 16 Desember 2019. Nurhadi dan Rezky disangka menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di Mahkamah Agung. Sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.