Jumat 05 Jun 2020 11:05 WIB
Ruslan Buton

Ruslan Buton, Media Baru, dan Psikologi Negara Kekuasaan

Kajian dari Leiden tentang Ruslan Buton

Proses penangkapan Kapten Purnawirawan Ruslan Buton.
Foto:

Mengapa Ruslan Buton ditangkap? Apakah karena surat terbukanya begitu berbahaya? Bukankah kebebasan menyatakan pendapat di depan umum dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, termasuk usulan pemakzulan presiden? Bukankah sudah ada orang lain yang juga mengirimkan surat terbuka yang meminta Presiden Jokowi mundur dari jabatannya? Mengapa dia tidak ditangkap? Bahkan di medsos beredar juga video tiga orang bersalawat yang menyerukan Jokowi mundur. Lebih banyak lagi postingan di dinding-dinding facebook yang berisi nada yang sama.

Dari segi politik, pengaitan penangkapan Ruslan dengan ‘invisible hands’ yang tidak ingin soal isu tenaga kerja Cina diapungkan tentu bisa dipahami. Jika ditilik lebih dalam, dengan mempertimbangkan wacana yang sedang hangat beredar di ranah publik, penangkapan Ruslan memang lebih kental kaitannya dengan isu tenaga kerja Cina ini ketimbang soal usulan pemberhentian Presiden.

Akan tetapi sebagai peneliti budaya media (media culture), saya ingin meninjau kasus Ruslan ini secara lebih dalam lagi dari konteks kajian media dan politik. Dalam salah satu stelling [proposition] disertasi saya (2014) saya berhujah: “One of the real challenges faced by authoritarian regimes in Southeast Asian countries is to maintain the effectiveness of modern media as instruments of state propaganda.” (lihat: https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/30115/Dissertation-Suryadi.stellingen.pdf?sequence=25; stelling no. 9; diakses 02-06-2020).

Hal ini tampak nyata dan kentara sekali dalam ranah politik Indonesia kontemporer. Pemerintah Jokowi (Jokowi’s administration) bahkan sampai menyewa buzzers dan influencers dengan biaya milyaran untuk membentuk dan mempengaruhi opini publik untuk melawan pihak-pihak yang menunjukkan sikap oposisi dan kritisisme.

Di era sosial media yang begitu luas pengaruhnya di zaman sekarang, penguasa yang anti kritik dan anti demokrasi akan dengan mudah tersinggung oleh wacana kritis terhadapnya yang menyebar cepat di media sosial, dan hampir tak dapat dikontrol oleh negara.

Penguasa antri kritik dihinggapi phobia dan selalu merasa medsos adalah ‘hidden camera’ yang menelanjangi mereka. Sebagai produk ‘new media’, medsos memiliki ciri yang berbeda dari ‘old media’. Rezim-rezim anti kritik yang ada di dunia sekarang masih mencoba menerapkan konsep ‘repressive use of media’ di tengah perubahan sifat mendasar media baru yang sangat ‘emansipatoris’, walau mereka tahu usaha itu sebenarnya sia-sia belaka. H.M. Enzensberger dalam ‘Constituents of a theory of the media’, New Left Review 64 (1970): 13-36 membedakan ciri ‘old media’ dan ‘new media’ sebagai berikut:

 

Repressive Use of Media (Ciri ‘Old’ Media) Emancipatory Use of Media (ciri ‘New Media [Seperti Sosmed])
-Centrally controlled program

-One transmitter, many receivers

-Passive consumer behavior

-Production by specialists

-Control by property owners or bureucracy

-Decentralized program

-Each receiver a potential transmitter

-Interaction of those involved, feedback

-Collective production

-Social control by self-organization

Jadi, hampir tidak mungkin bagi negara untuk mengontrol media sosial di zaman sekarang. Penguasa yang bijak tidak akan melakukan penangkapan-penangkapan, tapi justru akan melakukan counter dengan cara yang terencana dan cerdik. Jika tidak, kita akan melihat terus berakumulasinya rasa phobia penguasa-penguasa yang anti kritik, yang akan menuju ke sebuah titik kulminasi. Energi ke arah titik kulminasi itu bisa datang dari sebuah ikon, seperti ‘#SaveRuslanButon’. Dan sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa di titik kulminasi itulah tegak rebahnya sebuah rezim ditentukan.

Ikon koreksi dan resistensi terhadap rezim anti kritik

Penangkapan Ruslan Buton, yang kemudian diikuti dengan menyebarnya tagar “#SaveRuslanButon”, “#BebaskanRuslanButon” dan berbagai poster yang menggambarkan Ruslan dalam segaram militer, menunjukkan meluasnya dukungan terhadap orang ini. Dalam minggu ini muncul pula facebook group yang diberi nama “Teman Ruslan Buton”. Perkembangan ini menarik untuk diamati lebih seksama.

Tampaknya Ruslan Buton mulai berubah menjadi semacam ikon resistensi terhadap Jakarta. Semakin nanya orang yang berhabung dan mengasosiasikan diri dengan ikon ini, mereka yang berpandangan sama tentang keadaan Indonesia sekarang, terutama dalam hal terancamnya kedaulatan negara oleh kekuatan asing dan pengurasan sumber daya alam Indonesia oleh para kapitalis asing yang telah memegang ‘batang leher’ para pengambil keputusan di dalam negeri, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Melihat situasi politik dan kohesi sosial bangsa Indonesia kini, iko ini mungkin tidak akan bisa bertahan hidup, malah mungkin segera akan jadi bongsai. Tapi gerak politik sebuah bangsa tidak dapat diprediksi secara tepat, bahkan juga oleh para scholar, analis dan pengamat politik.

 

Leiden, 4 Juni 2020

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement