REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi VI DPR Marwan Jafar mengatakan sekalipun menghadapi tantangan yang berat, industrialisasi harus tetap berjalan. Sekalipun dalam prosesnya membangkitkan dunia industri di masa new normal bukanlah pekerjaan mudah.
"Meski di sirkuit yang berkelok-kelok, naik-turun, tikungan tajam, licin dan cuaca yang belum bersahabat, industrialisasi harus berjalan dalam rangka menapaki tatanan era baru di arena persaingan global,” ungkap legislator dari Fraksi PK tersebut, dalam siaran persnya, Kamis (4/6).
Mantan Menteri Desa ini mengatakan perlunya langkah strategis untuk menggenjot industrialisasi. Dalam mendorong industrialisasi, menurut dia, perlu akselerasi kebijakan industri ruralisasi berskala menengah dan besar. Baik di sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan serta sektor agrobisnis lainnya. "Saya sudah berkali-kal saya sampaikan melalui forum virtual maupun media massa,” kata Marwan.
Menurutnya, program ruralisasi itu punya nilai strategis dan berkelanjutsn, baik dimasa kini maupun masa yang akan datang. Program ruralisasi ini juga tahan terhadap bencana. Terutama bencana non alam, seperti pandemi Covid-19 yang sekarang mewabah secara global.
"Sebab itulah evalusi dan merubah RPJMN kita dengan memasukkan program ruralisasi, sangatlah penting dan strategis,” unkap dia.
Marwan mencontohkan, kinerja industri sawit di Kalimantan, tak terganggu pandemei Covid-19. Harga pembelian TBS di tingkat petani juga masih di kisaran angka Rp1.200-Rp1.300 per kg. Industri sawit masih dibutuhkan dunia. Eropa masih menggunakan bahan baku minyak sawit untuk membuat sanitizer.
Dilanjutkannya, pengembangan sektor perikanan perlu terus didorong ke orientasi industri yang dapat meningkatkan kebutuhan eksport. Total ekspor produk perikanan Indonesia pada lima tahun terakhir tercatat mencapai USD 3,60 miliar, dimana Amerika Serikat merupakan tujuan ekspor terbesar produk perikanan Indonesia mencapai USD 1,44 miliar.
Demikian pula sektor agribisnis nasional. Dikatakannya, data Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan laju pertumbuhan agribisnis pada kuartal II 2018 mencapai 4,76% melonjak dari 3,23% pada kuartal yang sama di 2017.
"Industri ruralisasi di sektor-sektor andalan tersebut tidak bisa ditawar lagi. Ini menjadi payung sirkuit yang diharapkan tahan banting, siap memacu kendaraan menyusuri arena balap yang berkelok-kelok mencapai titik finis. Ke depan, kita harapkan dapat ekapor, bukan hanya berupa bahan baku, namun berupa hasil produksi”, papar Marwan.
Langkah kedua yang harus dilakukan pemerintah, kata Marwan, perlu pengembangan industri ritel. Sebelum pandemi Covid-19, sektor ini mengalami trend yang positif. Data Kementerian Perdagangan periode 2018-2019 menunjukkan, pertumbuhan industri ritel modern, khususnya konsumsi barang kebutuhan sehari–hari atau fast moving consumer goods (FCMG) terlihat menggembirakan, yakni sebesar 6,6% format minimarket tumbuh 12,1%, format supermarket dan hypermarket -6,8%.
Dikatakan juga, pemerintah harus memacu sektor Industri kreatif. Sektor ini memerlukan pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu. Karenanya, kata Marwan, harus didorong dua hal sekaligus, yakni untuk menciptakan kesejahteraan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu pelaku.
Langkah keempat, menurut Marwan, perlu pengembangan industri manufaktur dan melanjutkan peringkat terbaik basis industri manufaktur terbesar se-ASEAN. Data yang terekspos media menunjukkan, kontribusi industri manufaktur Indonesia mencapai 20,27% pada perekonomian skala nasional.
Bagi Marwan, pemerintah juga perlu terus melakukan transformasi dan pengembangan perekonomian industri non migas sehingga menggeser peran commodity based menuju manufacture based yang berefek berantai pada ekonomi nasional.
Langkah selanjutnya, menurut Marwan, adalah menyiapkan Indonesia menjadi tujuan relokasi industri. Peluang emas ini harus dimanfaatkan dengan berbagai pertimbangan , antara lain: Indonesia merupakan pasar yang potensial dan besar bagi dunia. Namun untuk hal ini, Indonesia harus bersaing dengan India, Thailand, Vietnam dan Filipina.
Selain itu, Indonesia juga memiliki nilai kompetitif sebagai negara tujuan, yakni harga lahan yang relatif murah dan menjaga fluktuasi upah tenaga kerja yang seharusnya lebih murah dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
Langkah keenam, menurut Marwan adalah mendorong industri farmasi menjadi pilar penting pembangunan kesehatan nasional. Terkait ini, perlu pengembangan sumber daya alam nasional yang begitu melimpah, sebagai bahan baku obat-obatan maupun alat kesehatan. Dengan demikian akan dapat mengurangi ketergantungan import.
Berbagai upaya yang dilakukan BUMN, sebagaimana dirilis media, PT Kimia Farma (Persero) Tbk telah berupaya memproduksi bahan baku obat (BBO) sejak 2016 melalui anak usahanya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP), perlu terus didorong dan diikuti oleh pihak lainnya sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor.
Ketujuh, perlu antisipasi pengembangan bidang industri pariwisata, restoran, perhotelan dan sektor pendukung lainnya seperti industri event organizer. Bidang ini menjadi strategis untuk dikembangkan di era The New Normal, bukan saja untuk recovery ekonomi yang berefek pada devisa, namun sekaligus menampung banyaknya tenaga kerja dan menggerakkan pelaku ekonomi sektor informal.
"Harus ada upaya kreatif untuk menggalakkan sektor-sektor tersebut agar ekonomi nasional segera recovery. Taruhlah misalnya, menggandeng artis-artis bertaraf internasional untuk promosi pariwisata nasional kita, baik secara virtual maupun secara langsung. Tentu di era The New Normal ini tetap tegakkan disiplin protokol kesehatan pandemi covid-19,” papar Marwan.