REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie mengungkapkan dua masalah terkait penolakan terhadap Rancangan Peraturan Presiden (RPerpes) pelibatan TNI dalam memberantas teroris. Menurutnya, masalah itu bertolak pada konstitusional dan menjaga reformasi TNI.
"Dua persoalan yaitu karena ketiadaan pengaturan keputusan dan kebijakan politik negara dan kerangka criminal justice system dalam RPerpres tersebut," kata Ikhsan Yosarie dalam keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (3/6).
Dia mengatakan, ketiadaan pengaturan kebijakan dan keputusan politik negara tersebut menurutnya tentu tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI). Pasal itu mengatur bahwa pelibatan TNI dalam Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
"Secara umum bahkan pada Pasal 5 disebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara," lanjutnya.
Sementara ketiadaan pengaturan kerangka criminal justice system tersebut tentu semakin menjauhkan TNI dari semangat reformasi TNI, terutama yang berkaitan dengan upaya revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
"RPerpres yang memberikan kewenangan TNI dalam penanganan terorisme menjauhkan TNI dari semangat reformasi," katanya.
Dia mengatakan, peradilan militer menjadi persoalan yang tidak kunjung tuntas dalam dua dekade reformasi, meskipun telah dimulai pembahasan sejak dekade pertama reformasi TNI. Katanya, kegagalan revisi sistem peradilan militer menjadi penanda rendahnya akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat militer masih menjadi masalah besar.
Menurut Ikhsan, pengaturan semacamnya juga sudah diatur pada Pasal 3 ayat (4) huruf a TAP MPR No.VII tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Lanjutnya, pengaturan mengamanatkan prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum seharusnya dapat dilaksanakan.
Dia mengatakan, dua persoalan itu juga menjadi bagian dari definisi Tentara Profesional yang diatur pada Pasal 2 huruf d UU TNI, yakni mengikuti kebijakan politik negara yang menganut, prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional.
"Sehingga, dalam konstruksi kerangka penolakan tersebut, tentu menjadi pertanyaan, bagian mana yang mencerminkan sesuatu yang berlebihan dan penggunaan kacamata hukum dan HAM yang sempit?" katanya
Lebih jauh, dia menuturkan, satu hal yang ditakutkan adalah ketika terjadi perbedaan konteks pembahasan dalam diskursus pro-kontra RPerpres. Dia mengatakan, penolakan yang dilakukan sejumlah aktivis berada pada konteks pengaturan pelibatan TNI dalam RPerpres.
Sementara, pihak lain yang setuju atas RPerpres tersebut menggambarkan konteks pelibatan TNI. Dia mengatakan, aspek pengaturan tersebut memberikan perbedaan yang mendasar dalam perspektif pro-kontra diskursus ini.
Dia mengatakan, perbedaan konteks itu berimplikasi kepada diskursus yang bertolakbelakang. Mereka, dia menjelaskan, berbicara pengaturan pelibatan TNI akan mengacu pada aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya. Sehingga, ucap dia, jika TNI dilibatkan maka pelibatan tersebut harus memiliki aturan main yang jelas dan konstitusional.
Sementara mereka yang berbicara pelibatan TNI, cenderung mengarahkan pembahasan kepada hal-hal yang konseptual, seperti dinamika ancaman. "Jika berada dalam konteks yang sama, yakni pengaturan pelibatan TNI dalam Perpres tersebut, tentu yang menjadi pertanyaan, apakah pengamat tersebut sepakat jika pelibatan TNI dalam penanganan terorisme tidak perlu berdasar keputusan dan kebijakan politik negara, seperti yang diatur UU TNI? serta tidak perlu dalam kerangka criminal justice system?" katanya.