Selasa 01 Jun 2021 09:17 WIB
Islam

Islam dan Pancasila: Diskursus BPUPKI Tentang Dasar Negara

Islam dan Pancasila saling menguatkan yang dibahas dengan intelek di BPUPKI

 Persidangan resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.
Foto:

Tidak hanya sekadar menyembunyikan pidato penting dari beberapa tokoh nasional saat itu, Mohammad Yamin justru menambahkan beberapa teks pidato miliknya sendiri pada buku yang disusunnya, “Naskah Persiapan UUD 1945”, padahal menurut Mohammad Hatta, Yamin tidak pernah berpidato seperti yang ditulisnya itu di sidang BPUPKI. [vi] Meskipun demikian, fakta tentang adanya pidato bantahan Hatta tentang ide pembentukan negara Indonesia berdasarkan azas Islam sebagaimana dilontarkan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan KH Ahmad Sanoesi, dapat ditemukan dari pidato Prof. Dr. Mr. Soepomo yang pada prinsipnya kurang lebih sejalan dengan ide Hatta. Berikut petikannya:

  •  

    “Oleh anggota yang terhormat Tuan Moh Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah faham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam. Apa sebabnya di sini saya mengatakan “bukan negara Islam?” Perkataan “negara Islam” lain dengan artinya dari pada perkataan “Negara berdasarkan atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Apakah perbedaannya akan saya terangkan. Dalam negara yang tersusun sebagai “negara Islam”, negara tidak bisa dipisahkan dari agama. Negara dan agama adalah satu, bersatu padu.”

     

Kemudian, Soepomo melanjutkan:

 

  • “Tadi saya mengatakan bahwa dalam negara Islam, negara tidak bisa dipisah-pisahkan dari agama, dan hukum syariah itu dianggap senagai perintah Tuhan untuk menjadi dasar, untuk dipakai oleh negara. Dalam negara-negara Islam, misalnya di negara Mesir dan lain-lain yang menjadi soal, ialah apakah hukum syariat dapat dan boleh diubah, diganti, disesuaikan menurut kepentingan internasional menurut aliran zaman? Ada suatu golongan yang terbesar yang mengatakan bahwa itu tidak diperbolehkan. Tetapi ada lagi golongan yang mengatakan bisa disesuaikan dengan zaman baru. Umpamanya saja seorang ahli agama terkenal, yaitu Kepala dari sekolah tinggi “Al-Azhar” di Kairo, Muhammad Abduh yang termasyhur namanya – dan ia mempunyai murid di sini juga—mengatakan, “Memang hukum syariah bisa diubah dengan cara “ijmak”, yaitu permusyawaratan, asal tidak bertentangan dengan Qur’an dan dengan Hadis. Ada lagi yang mempunyai pendirian yang lebih radikal, seperti Ali Abdul Razik, yang mengatakan bahwa agama terpisah daripada hukum yang mengenai kepentingan negara. Dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk hukum negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang meminta perhatian dari negara-negara yang turut berhubungan dengan dunia internasional itu…”

     

Dalam sidang BPUPKI selanjutnya, sebenarnya terjadi perdebatan seru akibat perbedaan tajam antara kubu Islam --kubu terbesar dengan 35 orang anggota-- yang menghendaki dasar negara Indonesia berdasarkan Islam, dan kubu sekuler dan non muslim yang tidak menghendaki peran agama (Islam) dalam negara. Golongan Sekuler dan non muslim menginginkan Indonesia berdasarkan prinsip kebangsaan. Perdebatan panjang itu tidak terselesaikan sampai tanggal 1 Juni. Saat itu, Soekarno berpidato selama satu jam yang penuh dengan janji dan rayuan kepada para tokoh BPUPKI dari kubu Islam agar mau berkorban dan berkompromi untuk membangun cita-cita Negara Indonesia yang hendak dicapai bersama. Pidato panjang yang sangat memukau hadiri itu dikemudian hari dikenal dengan judul Lahirnya Pancasila. Berikut beberapa petikannya:

 

  • “Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saya memakai perkataan, “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya meminta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang Bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun Bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan Negara Indonesia.

     

Selanjutnya, untuk menarik perhatian para politisi muslim anggota BPUPKI, Soekarno mencoba meyakinkan mereka bahwa dirinya pun sejatinya adalah seorang pembela Islam. Soekarno mengatakan:

 

  • “Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam –maaf beribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna—tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.”

     

Ketika menjelaskan tentang prinsip musyawarah mufakat, Soekarno pun menyinggung sentimen kaum muslimin :

 

  • “Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa Kepala-Kepala Negara, baik khalif maupun Amirul Mu’minin harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kita mengadakan Kepala Negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya menjadi Kepala Negara Indonesia dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarkhi.”

     

Namun, pada saat menjelaskan tentang prinsip Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Soekarno justru seolah melupakan kewajiban kaum muslimin untuk melaksanakan syari’at Islam ketika mengaku sebagai seorang muslim, dan ber-Tuhan menurut ajaran Nabi Muhammad SAW. Dengan lugas ia mengatakan :

 

  • “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan.” [

     

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement