REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi mengecam adanya tindakan intimidatif yang dilakukan sekelompok oknum terhadap narasumber dan panitia diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Anggota Komisi bidang Hukum dan Keamanan ini meminta aparat kepolisian bisa menjamin keamanan di mimbar akademik.
Aboe Bakar meminta agar Polda DIY serius mengusut persoalan ini. Ia berharap kepolisian bisa segera mencari dalang intimidasi tersebut.
"Mari kita tunjukkan bahwa aparat menjamin keamanan mimbar akademik. Hal itu dapat ditunjukkan dengan mengusut dan memproses secara hukum mereka yang menjadi dalang pengancaman tersebut," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/5).
Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini menilai tindakan intimidatif tersebut merupakan upaya membungkam kebebasan berdiskusi dalam mimbar akademik. Terlebih, karena tindakan itu, acara diskusi akhirnya dibatalkan.
Aboe Bakar menuturkan, pihaknya mendengar ada ancaman terkait pemanggilan kepolisian dengan pengenaan pasal makar, hingga ancaman pembunuhan terhadap narasumber. "Saya mendengar ada ancaman pemanggilan oleh kepolisian, ancaman mengenakan pasal makar, hingga ancaman pembunuhan. Akibatnya diskusi tersebut dibatalkan, ini termasuk pemberangusan mimbar akademik," kata dia.
Ia menilai ancaman seperti ini sangat berbahaya lantaran terjadi di lingkup akademik. Politikus PKS tersebut meminta agar kasus tersebut disikapi dengan serius. Ia memprediksi ada pihak ketiga yang ingin memancing di air keruh.
"Saya yakin, ada pihak ketiga yang memancing di air yang keruh. Tidak mungkin aparat mengirim acaman dengan pola demikian," tegasnya.
Kecaman terhadap kasus intimidasi dan teror terhadap pelaksanaan diskusi bertema "Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" juga datang dari sejumlah pihak. Mantan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Denny Indrayana menyayangkan dibatalkannya diskusi mahasiswa UGM terkait topik pemakzulan Presiden.
“Ini tentu tidak sejalan dengan prinsip kebebasan berbicara dan kebebasan akademik yang seharusnya kita sama-sama jaga di kampus,” ujar dia ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Sabtu (30/5).
Menurut Denny, diskusi bertajuk "Meneruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan" sebenarnya tak memiliki agenda politik. Sebaliknya, diskusi itu disebutnya hanya membicarakan bagaimana prosedur pemakzulan. “Tidak lebih dan tidak kurang,” tegas dia.
Dia mengaku, mengetahui agenda tersebut dan mengenalnya. Denny berharap agar kejadian serupa tak terjadi kembali. Kecaman terhadap teror yang terjadi pada pembicara juga disuarakan Universitas Islam Indonesia (UII).
Sebab, salah satu dosen tata negara Fakultas Hukum UII, Prof Dr Ni'matul Huda SH MHum disebut mendapat teror sejak Kamis (27/5) malam dari orang tak dikenal. Ni'matul Huda sedianya akan memberikan materi dalam diskusi tersebut.
Tetapi, yang bersangkutan menerima teror dengan didatangi sekelompok orang ke rumahnya dengan cara menggedor pintu dari Kamis malam hingga Jumat (29/5) pagi. Kejadian teror juga dialami panitia diskusi.
Rektor UII, Prof Fathul Wahid, mengutuk keras tindakan intimidasi yang dilakukan oknum tertentu terhadap panitia dan narasumber. Ia meminta aparat penegak hukum memproses, menyelidiki dan melakukan tindakan hukum terhadap oknum pelaku tindakan intimidasi dengan tegas dan adil.
"Meminta aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan terhadap panitia penyelenggara dan narasumber, serta keluarga mereka dari tindakan intimidasi lanjutan dalam segala bentuknya, termasuk ancaman pembunuhan," kata Fathul di Ruang Sidang UII, Sabtu (30/5).