Sabtu 30 May 2020 15:54 WIB

Teror di Era Kampus Merdeka

Tekanan terhadap kebebasan akademik masih menyisakan persoalan yang rumit

Foto udara Lapangan Pancasila, UGM Yogyakarta. (ilustrasi)
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Foto udara Lapangan Pancasila, UGM Yogyakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Subarkah, Wahyu Suryana, Zainur Mahsir Ramadhan, Dian Fath Risalah

Awal tahun ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mewacanakan gebrakan dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Ia menamai inisiasi tersebut, "Kampus Merdeka". 

Dalam gagasannya, lewat kebijakan itu nantinya banyak keleluasaan yang diberikan kepada pihak kampus. "Inovasi hanya bisa terjadi di dalam suatu ekosistem yang tidak dibatasi." kata dia, Januari lalu. Nah, yang terjadi di Yogyakarta akhir pekan lalu, berkebalikan dengan slogan tersebut.

Ceritanya, menurut lansiran Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, bermula dari rencana diskusi kelompok studi Constitutional Law Society pada 29 Mei 2020. Sehari sebelum acara tersebut, sudah beredar selebaran acara dengan tema “Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”. 

Acara itu akan diisi oleh Prof Dr Ni'matul Huda SH MHum yang merupakan guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Seminar itu bakal digelar secara virtual melalui aplikasi Zoom. Nama dan kontak narahubung dicantumkan dalam selebaran itu.

Selebaran itu tak diketahui khalayak ramai seandainya tak diunggah Ir. KPH Bagas Pujilaksono Widyakanigara dalam tulisannya yang kemudian viral dengan judul "Gerakan Makar di UGM Saat Jokowi Sibuk Atasi Covid-19". Panitia dan narasumber diskusi virtual itu dituding tengah mewacanakan pemecatan presiden. 

Panitia dengan dalih menyadari sensitifitas materi kajian yang akan mereka diskusikan secara ilmiah kemudian mengganti judul diskusi menjadi "Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" hari itu juga. Namun begitu, persoalan belum selesai.

Pada Kamis (28/5) malam, teror dan ancaman masuk ke telepon genggam narasumber dan narahubung acara tersebut. Teror terus berlanjut hingga Jumat (29/5) dengan nada yang lebih mengancam serta dilayangkan juga ke anggota keluarga pihak penyelenggara. 

Halo pak. Bilangin tuh ke anaknya ******* Kena pasal atas tindakan makar. Kalo ngomong yg beneran dikit lahhh. Bisa didik anaknya ga pak!!! Saya dari ormas Muhammadiyah klaten. Jangan main main pakk. Bilangin ke anaknya. Suruh datang ke polres sleman. Kalo gak apa mau dijemput aja? Atau gimana? Saya akan bunuh keluarga bapak semuanya kalo gabisa bilangin anaknya,” bunyi salah satu pesan dalam lansiran pers Fakultas Hukum UGM. Teks itudikirimkan oleh nomor +6283849304820 pada Jumat (29/5) sekitar pukul 13.17 WIB 

“Jangan macam macam. Saya akan cari *****. ***** kena pasal atas tindakan makar. Tolong serahin diri aja. Saya akan bunuh satu keluarga *****,” bunyi teks lainnya yang dikirimkan seseorang yang mengaku dari salah satu ormas di Klaten. Teks itudikirimkan oleh nomor +6282155356472 pada Jumat (29/5) siang. 

Selain teror-teror itu, terjadi juga peretasan terhadap akun media sosial panitia yang mengacaukan jadwal acara. Pada akhirnya, acara tersebut dibatalkan dengan alasan keamanan.

Dekan Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Abdul Djamil  SH MH, menuturkan bahwa Prof Dr Ni'matul Huda SH MHum mendapat teror yang bentuknya lebih kasat mata. Dia diteror dengan didatangi serta rumahnya digedor semenjak Kamis (28/5) malam hingga Jumat (29/5) pagi.

"Semenjak pukul 23.00 malam hingga pukul 09.00 pagi tadi rumahnya berulangkali digedor-gedor orang tak dikenal. Mereka datang bergantian,'' kata Abdul Jamil, ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (28/5).

Menurut Jamil, semenjak semalam dia terus berhubungan dengan Prof Ni'matul Huda sampai pagi hari tiba. Kepada ibu guru besar yang tinggal di kawasan dusun Surogenen Yogyakarta itu terus diminta agar tak membuka pintu rumah. Bahkan dirinya menyarankan agar Prof Ni'matul Huda yang tinggal bersama beberapa orang saudaranya itu sementara mengungsi  atau berpindah rumah dulu. 

"Tapi sekitar 07.00 pagi tadi, tiba-tiba ada telepon yang masuk dari teman dan mahasiswa saya yang mengatakan Ibu Ni'mat tak bisa dihubungi. Saya kaget karena merasa khawatir akan keberadaan beliau. Maka saya kirim beberapa mahasiswa untuk pantau rumahnya. Untunglah meski belum bisa dihubungi lagi, laporan mahasiswa itu mengatakan Ibu Ni'mat tak apa-apa,'' tegas Abdul Jamil.

"Saya bersyukur kemudian tak terjadi apa-apa kepada beliau. Meski begitu kami merasa teror itu aneh karena suasana rumah dan jalan masuk ke rumah Ibu Ni'mat tengah atau dalam suasana lockdown," kata dia menambahkan.

Prof Ni'matul Huda sedianya memang dosen kawakan di Fakultas Hukum UII. Studinya terfokus pada persoalan konstitusi, ketatanegaraan, demokrasi, dan otonomi daerah, untuk menyebut sebagian saja. "Saya rasa dia dosen yang sangat netral dan akademis. Nggak condong kemana-mana," ujar seorang mantan mahasiswa Fakultas Hukum UII memberikan kesaksiannya.

Dekan Fakultas Hukum UGM Prof Sigit Riyanto menyatakan mengecam sikap dan tindakan intimidatif terhadap rencana kegiatan diskusi yang berujung pada pembatalan kegiatan diskusi ilmiah tersebut. "Hal ini merupakan ancaman nyata bagi mimbar kebebasan akademik, apalagi dengan menjustifikasi sepihak secara brutal bahkan sebelum diskusi tersebut dilaksanakan," ujarnya dalam rilis resmi, kemarin. 

Ia menyatakan Fakultas Hukum UGM mendorong segenap lapisan masyarakat untuk menerima dan menghormati kebebasan berpendapat dalam koridor akademik, serta berkontribusi positif dalam menjernihkan segala polemik yang terjadi di dalam masyarakat.

Menurutnya, Fakultas Hukum UGM telah mendokumentasikan segala bukti ancaman yang diterima oleh para pihak terkait, serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi segenap civitas akademika Fakultas Hukum UGM serta pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Civitas Akademika Universitas Islam Indonesia (UII) juga meminta tindakan intimidasi yang memberangus kebebasan mimbar akademik dihentikan. Rektor UII, Prof Fathul Wahid, mengutuk keras tindakan intimidasi yang dilakukan oknum tertentu terhadap panitia penyelenggara dan narasumber dalam diskusi kelompok studi mahasiswa Constitutional Law Society itu.

photo
Rektor UII Prof Fathul Wahid (kanan) didampingi dosen Fakultas Hukum UII Dr Busyro Muqoddas. (ilustrasi) (Republika/ Wihdan Hidayat)

"Meminta aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan terhadap panitia penyelenggara dan narasumber, serta keluarga mereka dari tindakan intimidasi lanjutan dalam segala bentuknya, termasuk ancaman pembunuhan," kata Fathul di Ruang Sidang UII, Sabtu (30/5).

Fathul turut meminta Komnas HAM untuk melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia. UII juga meminta pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk memastikan terselenggaranya kebebasan akademik. Hal ini untuk menjamin Indonesia tetap dalam rel demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum. 

Selain itu, Fathul menyerukan seluruh rakyat Indonesia untuk tetap menggunakan hak dan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat di muka umum. "Sepanjang sesuai koridor peraturan perundang-undangan demi menjaga proses demokratisasi tetap berjalan dalam relnya," ujar Fathul. Turut hadir dalam pernyataan sikap itu, Wakil Rektor Kemahasiswaan, Keagamaan dan Alumni Dr Rohidin, Dekan Fakultas Hukum Dr Abdul Jamil, dan dosen Fakultas Hukum Dr Busyro Muqoddas. 

Mantan guru besar Hukum Tata Negara UGM Denny Indrayana menyayangkan dibatalkannya diskusi mahasiswa UGM terkait topik pemakdzulan presiden iyu. Terlebih hal itu setalah terjadinya teror pada pembicara dan panitia terkait diskusi itu.

“Ini tentu tidak sejalan dengan prinsip kebebasan berbicara dan kebebasan akademik yang seharusnya kita sama-sama jaga di kampus,” ujar dia kepada Republika.co.id, Sabtu (30/5). Sikap kritis para mahasiswa UGM, kata dia, sebaiknya perlu didorong dengan diberikan ruang agar mereka kian memiliki perhatian dan empati atas persoalan bangsa.

photo
Denny Indrayana saat mengikuti sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6/2019). - (Republika/Putra M. Akbar)

Dia menuturkan, diskusi yang dimaksud juga sebenarnya tak memiliki agenda politik. Sebaliknya, diskusi itu ia sebut hanya membicarakan bagaimana prosedur pemakdzulan. “Tidak lebih dan tidak kurang,” kata mantan wakil menteri Hukum dan Ham era SBY itu.

Dia mengklaim mengetahui agenda tersebut dan mengenal para panitia. Kelompok diskusi hukum tata negara du UGM, klaim dia, juga berdiri karena dorongan yang ia berikan semasa mengajar. “Ke depan, larangan diskusi semacam ini seharusna dihindari, karena bagaimanapun ini hal khusuus. Terlebih penyelenggaranya juga mahasiswa,” ungkap dia.

Kasus di Fakultas Hukum UGM tersebut bukan satu-satunya. Pada September 2019 silam, sejumlah pihak pengelola kampus seperti UGM, Universitas Negeri Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Sanata Dharma, mengeluarkan surat tak mendukung para mahasiswa turun ke jalan dalam aksi "Gejayan Memanggil". Saat itu, para mahasiswa memprotes sejumlah rancangan regulasi yang dinilai bakal jadi kemunduran.

Pada Oktober 2019 silam, Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM) juga menolak kedatangan Ustaz Abdul Somad (UAS) yang dijadwalkan mengisi kajian di Masjid UGM. Ketua Takmir Masjid UGM, Drs Mashuri Maschab, menyatakan, penolakan kala itu disebut pihak rektorat datang dari para alumni yang dekat dengan kekuasaan. Penolakan UAS tersebut memperpanjang daftar mereka yang ditolak bicara di UGM sejak 2016 seperti Felix Siauw, Sudirman Said, dan Ferry Mursidan Baldan.

photo
Para mahasiswa mengikuti aksi unjuk rasa Gejayan Memanggil II di Gejayan, Yogyakarta, Senin (30/9/2019). - (Republika/Wihdan Hidayat)

Sejumlah diskusi sejarah dalam beberapa waktu belakangan juga dibatalkan aparat dan pihak kampus dengan tudingan mengkampanyekan komunisme atau sebaliknya mendukung khilafah. 

Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI); Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM); Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indoneska (ADPHI) juga mengutuk keras tindakan teror terhadap insan akademik dan penyelenggara diskusi di DIY. Salah satu perwakilan, Zainal Arifin Mochtar  menegaskan kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik. 

Bahkan, kata Zainal, kebebasan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai sistem hukum Hak Asasi Manusia universal yang diakui dan dilindungi keberadaannya di Indonesia. Oleh karenanya, mereka mengutuk keras segala bentuk tindakan intimidasi dan ancaman yang dilakukan kepada penyelenggara kegiatan diskusi akademik yang di selenggarakan oleh kalangan civitas akademika.

"Kami menuntut adanya kebebasan akademik penuh sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi dan Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik," kata Zainal, Jumat (29/5).

"Kami meminta pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, untuk melindungi segala bentuk kegiatan akademik yang diselenggarakan civitas akademika sebagai bagian dari kebebasan akademik penuh," tegasnya.

Lebih lanjut Ia menjelaskan, dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Terlebih di dalam dunia akademis, kebebasan berpendapat itu semakin dilindungi dengan adanya konsep kebebasan akademik, yang secara tegas diakui oleh negara yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 8 ayat (1) menyatakan: “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.” 

Kebebasan Akademik juga diakui dan dihormati secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum (Bologna, 18 September 1988). Namun dewasa ini, tekanan terhadap kebebasan akademik masih menyisakan persoalan yang rumit. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement