REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang fatwa, Sholahuddin Al Aiyub heran dengan kurva kasus Covid-19 yang masih menunjukkan tingginya penularan. Padahal, menurutnya, tingkat kepatuhan dan pemahaman masyarakat terhadap protokol medis sudah cukup bagus.
Contohnya pada saat melaksanakan sholat Idul Fitri akhir pekan lalu. "Kita mendapat laporan, aspek protokol kesehatan menjadi pertimbangan utama para jamaah untuk melakukan sholat Id," tutur dia kepada Republika.co.id, Rabu (27/5).
Sholahuddin menjelaskan, banyak kalangan Muslim saat itu yang tidak menggelar sholat Id dalam kapasitas yang besar. Mereka menggelar shalat Id di lingkup yang kecil seperti di area perumahan dengan membagi per blok atau klaster.
Dalam kondisi demikian, Sholahuddin mengakui, memang seharusnya ada dampak terhadap kurva kasus Covid-19. Tetapi nyatanya, masih belum berdampak pada penurunan grafik penularan Covid-19. Bahkan masih tinggi. Karena itu, dia mengatakan, MUI ingin mengkajinya secara mendalam.
"Variabel kepatuhan protokol medis sudah bagus tetapi kok penularan masih tinggi, ini sebenarnya karena apa. Informasi-informasi ini akan menjadi pertimbangan yang penting untuk merumuskan rekomendasi MUI kepada pemerintah," ujar dia.
MUI tengah membahas bagaimana penyelenggaraan ibadah maupun aktivitas keagamaan di era new normal nanti. MUI juga melakukan evaluasi terhadap efektivitas aturan pemerintah di masa pandemi selama ini.
Setelah itu MUI akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. "Kita tidak mau terburu-buru," kata Sholahuddin.
Dia mengungkapkan, keselamatan jiwa masyarakat harus diutamakan daripada kepentingan-kepentingan yang lain, bahkan kepentingan masalah keagamaan sekalipun. Ia juga mengingatkan, dalam hal masalah keagamaan itu ada alternatif lain yaitu alternatif rukhsoh.
"Sementara kalau untuk menjaga jiwa masyarakat atau umat Islam itu tidak ada alternatif lain. Maka dalam hal ini, MUI ingin mendahulukan itu (perlindungan jiwa masyarakat). Kesimpulan seperti apa, saat ini masih digodok," katanya.
Menurut Sholahuddin, perlu pendekatan yang lebih mikro dan bukan secara nasional untuk memastikan apakah suatu daerah bisa melaksanakan aktivitas keagamaan di rumah ibadah pada era new normal nanti. "Kondisi daerahnya seperti apa, tingkat penyebarannya seperti apa, karena ini variabel yang penting," tuturnya.