Sabtu 23 May 2020 10:13 WIB

Plintat-Plintut, Sholat Id dan Prof Haedar Nashir

Sikap plintat-plintut, pemerintah hanya akan membuat ketidakpercayaan rakyat

Redaktur Republika, Mas Alamil Huda
Foto: republika
Redaktur Republika, Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mas Alamil Huda*

Selepas membayar zakat fitrah di mushola dekat rumah, Dyan, tetangga saya, tiba-tiba mencegat dengan sekalimat tanya. “Gimana kabar corona?”. Sembari menata batako bekas di depan rumahnya, ia mempersilakan saya mampir. Agak setengah memaksa. Saya tak melihat ia sedang bercanda dengan tiga kata di pertanyaannya.

Dyan Anggoro umurnya 32 tahun, anaknya tiga. Sebentar, maaf, saya merasa perlu untuk menginformasikan latar belakang sosok Dyan. Ini penting agar pembaca bisa profiling yang bersangkutan.

Dia kini tinggal di sebuah perumahan subsidi di daerah Bojonggede, Kabupaten Bogor. Pendidikan terakhirnya SMA. Sehari-hari ia menjemput rejeki dengan menjadi sopir taksi daring. Sudah kurang lebih lima tahun profesi ini dijalaninya. Tapi, sejak kurang lebih dua bulan lalu, pendapatannya terjun bebas. 70 persen hilang, kata dia.

Ilustrasinya begini, pengeluarannya yang pasti per bulan adalah mencicil rumah subsidi sekitar Rp 900 ribu. Kemudian angsuran mobil LCGC yang ia beli hampir lima tahun lalu, kurang lebih Rp 2 jutaan. Mobil yang beberapa bulan lagi lunas itu kini terpaksa macet kreditnya. Pun rumah subsidinya.

Saya paham, pertanyaannya tentang kabar corona bukan soal angka-angka statistik harian. Dia sudah tahu itu. Sangat tahu bahkan. Dyan sangat melek informasi. Sapaannya malam itu ternyata tentang kebimbangan membaca rangkaian kebijakan pemerintah. Dia butuh kepastian. Tentang kapan semua akan kembali ‘normal’.

Normal dalam persepsinya adalah seperti sebelum corona menyerang. Tapi ternyata dia menyadari itu susah, apalagi dalam waktu dekat. “Gimana bisa balik (normal), PSBB-nya saja setengah hati. Bener nggak, begitu?,” katanya.

Saya tercenung mendengarnya. Dalam beberapa waktu terakhir memang ramai kritik dilontarkan berbagai pihak tentang plin-plannya pemerintah dalam konteks kebijakan melawan Covid-19. PSBB yang mulanya untuk meminimalisasi interaksi antarmanusia ternyata tak maksimal. Atau bisa jadi seperti yang dibilang Dyan, setengah hati.

Pemerintah boleh mengeklaim bahwa upaya memutus mata rantai penyebaran virus corona telah dengan sekuat tenaga dilakukan. Tapi kenyataan di lapangan berbicara lain. Rasanya tak perlu saya sebut satu per satu. Terlalu banyak berita, gambar dan video tentang itu. Keramaian di jalanan, bandara, hingga pusat perbelanjaan benar adanya.

Fakta-fakta ini yang lantas membuat sebagian masyarakat berpikir skeptis. Jika bandara hingga pusat perbelanjaan ramai berjubel orang, mengapa masjid harus dikosongkan. Sebab, faktanya, klaster-klaster penyebaran Covid-19 tak hanya dari tempat ibadah. Tapi juga pusat perbelanjaan hingga pabrik rokok di Surabaya.

Inilah yang dijadikan pijakan sekaligus justifikasi bagi sebagian orang untuk kembali meramaikan masjid. Termasuk menggelar Sholat Id berjamaah di masjid maupun lapangan terbuka. Tak ada yang salah dengan itu.

Tapi tentu ini amat riskan dan krusial. Bukan tentang peribadatannya. Tapi perkumpulan orang, di manapun tempatnya, dalam konteks Covid-19, bisa mengonversi risiko penyebaran menjadi lebih kian tak terkendali. Mohon maaf mengingatkan, tak nampak tanda-tanda kurva melandai di akhir Mei.

Selama pemerintah tidak tegas membatasi berbagai kegiatan, baik sosial maupun ekonomi (di luar pemenuhan kebutuhan pokok) yang membuat orang berkerumun, selama itu pula ketidakpercayaan publik kian menebal. Ini bahaya jika masyarakat menjawabnya dengan keacuhan.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa menjadi petaka. Bagi kedua pihak tentunya. Ketidakpercayaan sangat mungkin bisa membuat masyarakat bertindak tanpa menggubris apapun kata pemerintah. Arah menuju ke sana ada potensinya. Itu semua buah dari inkonsistensi pemerintah.

Tapi, sesungguhnya ini yang tidak kita inginkan bersama. Melawan pandemi harus bersatu, tak ada pilihan. Jika saling bertentangan, yang kalah akan jadi abu, dan menang pun jadi arang.

Peristiwa terjadinya keramaian di berbagai tempat, selain tempat ibadah, memang menjengkelkan. Tapi kita tak boleh membalasnya dengan dendam. Apalagi, jika itu konteksnya adalah ibadah.

Besok, Ahad (24/5), kita merayakan Hari Kemenangan, Hari Raya Idul Fitri. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengajak masyarakat dengan amat bijak, khususnya warga Muhammadiyah, untuk meniadakan Sholat Id di masjid maupun di lapangan dan mengantinya dengan Sholat Id di rumah.

Saya jadi teringat dengan sebuah kaidah fiqih yang diajarkan di sekolah dulu. Bahwa menghindari kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan. Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih.

Menurut beliau, meniadakan Sholat Id di lapangan maupun di masjid karena ada ancaman Covid-19 tidaklah berarti mengurang-ngurangi agama. Dalam melaksanakan ajaran agama, dasarnya kadar kemampuan mukallaf untuk mengerjakan. Hal itu karena Allah tidak membebani hamba-Nya, kecuali sejauh kadar kemampuan dan bila diperintah lakukan kewajiban agama.

“Bagi warga Muslim yang mengalami kesulitan untuk menyelenggarakan Sholat Idul Fitri berjamaah di rumah, maka tidak perlu memaksakan diri menunaikannya,” kata Prof Haedar.

Lalu, bagaimana jika kita telah merelakan “kehilangan” Sholat Id di masjid secara berjamaah, tetapi di tempat lain keramaian dibiarkan? Inilah ujian pemerintah sesungguhnya. Apakah tetap plintat-plintut dan membiarkan ketidakpercayaan publik kian tebal, atau memperbaiki semuanya.

Kita semua ingin, Dyan dan jutaan warga Indonesia lain yang terdampak Covid-19 tak berlama-lama dalam situasi seperti saat ini. Semua ingin kembali seperti sedia kala. Tapi membelah kesehatan dan ekonomi secara diametral adalah ketidakbijaksanaan.

Karenanya, kami menolak untuk berdamai dengan Covid-19. Sebab, nyawa manusia bukan soal statistik di atas kertas, Tuan.

*) Penulis adalah jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement