Rabu 20 May 2020 17:34 WIB

7 Kata Piagam Jakarta tak Sepenuhnya Hilang dari Pancasila

Pancasila merupakan perjalanan sebuah ideologi dan dasar negara

Kepala Sub Direktorat Pengawasan Lembaga Zakat Kemenag, M Fuad Nasar
Foto:

Sore hari 17 Agustus 1945, sekitar pukul 17.00 Mohammad Hatta menerima tilpon dari Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, menanyakan kesediaan untuk menerima tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Tamu itu hendak menyampaikan suatu hal yang amat penting bagi Indonesia. Opsir dimaksud – Bung Hatta sendiri lupa namanya – mengaku datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan terhadap bagian dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi: “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika bagian kalimat itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Siapakah opsir Kaigun yang datang ke rumah Mohammad Hatta di Jalan Diponegoro No 57 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945 pukul 17.00 sore itu, masih menjadi “pertanyaan sejarah”. Dalam buku Lahirnya Satu Bangsa dan Negara (Jakarta: UI Press, 1997) disebut, utusan yang datang menemui Bung Hatta saat itu adalah aktifis mahasiswa Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) dari Asrama Prapatan 10 Jakarta. Mereka yang datang tiga orang memiliki postur tubuh tidak tinggi dan berpakaian seragam Angkatan Laut Jepang, sehingga mirip seperti orang Jepang. Saya pernah menanya pendapat Prof Dr Taufik Abdullah mengenai hal itu. Menurut Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut, “Memangnya Bung Hatta itu bodoh, sehingga tak bisa membedakan antara orang Jepang dan orang pribumi yang mirip Jepang?”

Mohammad Hatta mengungkapkan ia tidak menerima begitu saja keberatan dimaksud, “Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya.” (Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi, Jakarta: Tintamas, 1970).

Mohammad Hatta akhirnya menerima keberatan dimaksud dan berjanji akan menyampaikan kepada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, esok harinya. Pagi hari 18 Agustus 1945 menjelang dimulainya rapat PPKI dengan agenda pengesahan Undang-Undang Dasar, Bung Hatta melobi tiga orang anggota PPKI mewakili golongan Islam yang ada ketika itu, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Dalam keterangan Prawoto, KH A Wahid Hasjim tidak hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945 karena sedang perjalanan ke Jawa Timur.

Mohammad Hatta meminta tiga tokoh Islam itu bersedia menghapus tujuh kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam yang paling senior waktu itu semula keberatan, mengingat rumusan kalimat mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya merupakan hasil musyawarah-mufakat dalam rapat BPUPKI  22 Juni 1945. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Mohammad Hatta, karena keputusan terakhir ada pada Ki Bagus Hadikusumo.

Ki Bagus Hadikusomo waktu itu juga mengusulkan perubahan kalimat: “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Ki Bagus meminta kalimat “menurut dasar” dihapus, sehingga berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan seterusnya. Perubahan lain pada Rancangan UUD 1945 yaitu pasal 6 ayat 1 bahwa  “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, bagian kalimat “yang beragama Islam” dihapus.

Dalam bukunya Sekitar Proklamasi Mohammad Hatta menjelaskan, “Pada waktu itu kami dapat menginsafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dalam Negara Indonesia yang memakai kemudian semboyan Bhineka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem Syariat Islam yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Quran dan Hadis, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang.”

Salah satu pelaku sejarah Prof Mr. Kasman Singodimedjo menyatakan, “Perubahan tujuh kata rumus “Ke-Tuhanan” itu amat penting, karena “Yang Maha Esa” menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi filsafat negara kita itu, tidak mengenal Ke-Tuhanan sembarang ketuhanan. Sekali lagi bukan ketuhanan sembarang ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila ialah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah.” (Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang, Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Kesediaan Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata mengenai syariat Islam sekaligus menjadi “kunci” pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip dasar negara Pancasila. Prawoto Mangkusasmito, sebagaimana dikutip Endang Saifuddin Anshari, beberapa tahun kemudian bertanya kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “Tauhid”. Hal yang sama dikonfirmasi pula kepada Mr. Teuku M. Hasan, saksi sejarah yang hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945, tokoh asal Aceh itu tidak membantahnya.

Perintis kemerdekaan dan pahlawan nasional dari keturunan Arab Abdurrahman Baswedan dalam artikelnya Siapa Yang Sebenarnya Musuh Pancasila (Mingguan Islam Populer Hikmah No 23 Tahun 1954) mengungkapkan, ”Karena adanya ajaran-ajaran Islam itulah maka prinsip-prinsip Pancasila itu sebelum lahirnya Pancasila telah menjadi filsafat hidup bangsa Indonesia umumnya! Walaupun umum bangsa kita itu tidak dapat merumuskannya dalam kata-kata yang dipakai dalam perumusan Pancasila itu.

Riwayat terjadinya perumusan Pancasila dapat  menceritakan bahwa kalau Pancasila itu dikatakan suatu hasil kompromis di antara beberapa pihak yang berbeda-beda ideologi, toh bagi pihak Islam tiada satupun dari sila-sila yang lima itu yang tidak dapat diterimanya! Terutama atas dasar keyakinan bahwa sila yang pertama itu, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah sebagai dasar daripada sila-sila yang lain.”

Keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sehari setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan tujuh kata sebagaimana disebut di atas. Mohammad Hatta menyebut hal itu sebagai “toleransi pemimpin-pemimpin Islam” (Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1982).

Perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak menghilangkan substansi hubungan negara dan agama yang telah terpatri dalam konstitusi negara kita. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ditegaskan; (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Mohammad Hatta dalam pidato memperingati lahirnya Pancasila 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta mengingatkan seluruh bangsa Indonesia tentang makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak sekadar hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Pemerintahan negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa. Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan ghaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar.” (Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, merefleksikan amanat perjuangan umat Islam dan elemen bangsa lainnya. Umat Islam, – kata Mohammad Natsir, Pemimpin Masyumi dan Perdana Menteri RI tahun 1950-1951 – sejak awal kemerdekaan sadar kita hidup dalam masyarakat yang majemuk (pluralistik) dan umat Islam Indonesia tidak pernah menohok teman seiring.

Presiden Soekarno, sebagai tokoh penggali Pancasila, dalam Kuliah Umum berjudul “Negara Nasional dan Cita-cita Islam” di Universitas Indonesia tanggal 7 Mei 1953 atas permintaan Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) A. Dahlan Ranuwihardjo menegaskan, “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa mengatakan lebih daripada itu dan mensitir Saudara Pemimpin Besar Masyumi, Mohammad Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain.”

Dalam kaitan itu sangat beralasan ketika Alamsjah Ratu Perwiranegara, Menteri Agama periode 1978 – 1983 menegaskan, “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.” (H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam dan Pembangunan Politik Di Indonesia, Jakarta, CV Haji Masagung, 1987).

Sejalan dengan penegasan Alamsjah di atas, patut digaris-bawahi para pemimpin dan umat Islam menerima dasar negara Pancasila bukan karena alasan politis dan taktis, melainkan karena alasan teologis dan prinsip. Sebab, tidak satu pun di antara kelima sila yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam. Begitulah gambaran umum pandangan mainstream umat Islam Indonesia terhadap Pancasila dari dahulu sampai sekarang.

Mengutip Dr. Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, M.Sc, “Kelima sila yang tertera dalam Pancasila itu memanglah merupakan saripati dan ajaran agama Islam yang telah digali oleh para tokoh pendiri republik ini dahulu. Oleh karena itu tepatlah jika dikatakan, bahwa Pancasila adalah sumbangsih termulia umat Islam Indonesia kepada bangsanya.” (A.M. Fatwa, Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila Justru Saya Seorang Muslim, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002).

Dalam dinamika kehidupan bernegara relasi Pancasila dan Islam bisa terusik ketika Pancasila dibenturkan atau diperhadapkan dengan agama. Kesetiaan umat Islam kepada Pancasila bisa kendor kalau Pancasila dijauhkan dari agama atau Pancasila diisi dengan paham yang tidak sejalan dengan agama.

Di sisi lain,  tantangan paling berat dalam pengamalan Pancasila adalah menjalankan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Uniknya, dalam hukum Indonesia, pelanggaran terhadap dasar negara, misalnya suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan bertentangan dengan salah satu sila Pancasila, tidak bisa digugat atau dikenakan delik hukum secara langsung. Orang bisa mengatakan apakah ini suatu kelebihan atau kelemahan dalam sistem bernegara dan berpemerintahan.

Pada akhirnya, semua elemen dan elite bangsa harus mampu berpikir jernih dan bebas dari beban sejarah atau dendam masa lalu dalam membaca kedudukan Pancasila dan kedudukan agama secara konstitusional di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu amat penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara di atas landasan ideologis konstitusional.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat di saat para wakil rakyat di DPR kini sedang  membahas Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila. Wallahu a’lam bisshawab.

Jakarta, 17 Ramadhan 1441 H

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement