Rabu 20 May 2020 17:34 WIB

7 Kata Piagam Jakarta tak Sepenuhnya Hilang dari Pancasila

Pancasila merupakan perjalanan sebuah ideologi dan dasar negara

Kepala Sub Direktorat Pengawasan Lembaga Zakat Kemenag, M Fuad Nasar
Foto:

Prawoto Mangkusasmito dalam buku Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) menulis. “Pancasila sebagai dasar negara untuk pertama kali mendapatkan rumusnya yang lengkap pada tanggal 22 Juni 1945 dalam satu dokumen yang disusun dan ditandatangani oleh sebuah panitia terdiri dari 9 orang anggota Badan Penyelidik, yaitu Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Panitia kecil dibentuk oleh rapat yang dihadiri 38 anggota Badan Penyelidik yang ada di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 itu dan rapat tersebut dipimpin Ir. Sukarno. Rumusan Pancasila yang pertama itu kemudian terkenal dengan nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.”

Piagam Jakarta disebut sebagai dokumen historis dan dokumen politik. Piagam Jakarta memuat gentlemen’s agreement (istilah dari Dr. Soekiman Wirjosanjojo) atau istilah Soekarno “persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan” tentang dasar negara Republik Indonesia.

Mr. Muhammad Yamin yang memberikan nama Piagam Jakarta terhadap Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar hasil kerja Panitia Sembilan. Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 berbunyi: Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut Mohammad Hatta dalam buku Pengertian Pancasila, Panitia Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila itu, meletakkan fundamen moral di atas, fundamen politik di bawahnya. “Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara  dan pemerintahannya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Prof Mr. Kasman Singodimedjo, mantan anggota PPKI dalam ceramah Ramadhan tanggal 17 Agustus 1979 di Masjid Arief Rahman Hakim Kampus UI di Salemba Jakarta mengatakan, “Kemerdekaan RI dicetuskan tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. Apa yang tersedia pada tanggal 17 Agustus 1945 itu? Yang tersedia adalah Rancangan UUD dan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), karena piagam sudah dibuat pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan.” (Lukman Hakiem, editor. Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia; Pemikiran dan Kiprah Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan KH Abdul Kahar Mudzakkir. Jakarta: PP Muhammadiyah, 2013).

Mengenai Piagam Jakarta, Pahlawan Nasional Mahaputera Prof. Dr. Mr. H. Muhammad Yamin menegaskan, “Piagam Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fascisme, serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San Franscisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi RI. Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah (preambule) Konstitusi RI serta Undang-Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi-politik yang ditentukan di dalam piagam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus 1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi.” (Mr. Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Djakarta: Djambatan, 1952).

Piagam Jakarta merupakan konsensus nasional tentang dasar negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi antara golongan nasionalis islami yang menginginkan negara Indonesia dibangun di atas dasar-dasar ajaran Islam dan golongan kebangsaan netral agama yang menginginkan negara nasional dengan pemisahan secara mutlak agama dari kehidupan bernegara.

Dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 tentang Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, pada konsiderannya menegaskan “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.  Dekrit Presiden yang menyebut di dalamnya Piagam Jakarta, bukan sekadar dokumen sejarah, tetapi sebuah dokumen hukum dalam riwayat ketatanegaraan yang sampai sekarang masih berlaku.

Prof KH Saifuddin Zuhri, Menteri Agama periode 1962 – 1967 dan tokoh Nahdlatul Ulama, dalam Kata Pengantar buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari berpendapat, “Piagam Jakarta tidak kehilangan fungsinya maupun peranannya sebagai alat pemersatu seluruh bangsa Indonesia seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam rapat peringatan lahirnya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1965 di Istora Jakarta. Dan, 9 tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta itu sendiri pun merupakan perekat persatuan bangsa Indonesia.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Bandung: Pustaka – Perpustakaan Salman ITB, 1401 H – 1981 M).

Salah satu tokoh Masyumi Dr H Anwar Harjono, SH ketika menanggapi kesalahpahaman banyak kalangan tentang Piagam Jakarta, menyatakan, “Piagam Jakarta kerapkali diidentikkan dengan gagasan Negara Islam, dalam pengertian yang tidak tepat pula. Penulis sependapat dengan Ismail Suny yang mengatakan orang tidak perlu menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara dahulu, karena cukup jelas, bahwa dengan ketentuan tujuh kata-kata dalam Piagam Jakarta sama sekali tidak berarti telah terbentuk Negara Islam. Dengan tujuh kata-kata itu hanya dapat diartikan bahwa hukum Islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam sebagai halnya politik Hindia-Belanda sebelum tahun 1929.” (Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa, Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement