REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengkritisi ambang batas presiden (presidential threshold) sebagaimana yang diterapkan dalam dua pemilu terakhir. Menurutnya presidential threshold berpotensi memunculkan kartel politik.
"Saya katakan bahwa bisa ada yang namanya kartel politik yang memberi atau mendorong semua parpol dan tinggal menyisakan satu pasangan calon saja," kata Refly dalam diskusi daring, Selasa (19/5).
Dia juga menyebut bahwa presidential threshold membuat dua perhelatan pilpres terakhir menjadi sangat tidak menarik lantaran hanya diikuti calon yang itu-itu saja. Sementara, jika dilihat saat ini, sudah ada banyak nama-nama calon presiden 2024 yang bersliweran.
"Ada Anies, ada Ganjar, Ridwan Kamil, Khofifah, AHY, dan ketua-ketua umum yang masih muda misalnya," ujarnya.
Kemudian Refly menambahkan, jika pasangan calon dikaitkan dengan konstelasi kursi, ia menilai hal tersebut sudah mulai kelihatan dari sekarang. Partai-partai yang kini berada di sisi pemerintah bisa mendorong satu calon, ditambah dengan Partai Gerindra yang kini sudah berada di barisan pemerintah. Sementara satu calon lagi diisi oleh gabungan antara Partai Demokrat, PAN, dan PKS.
"Tinggal dua calon saja, jadi dari sekarang saja sudah kelihatan," tuturnya.
Dirinya juga menepis anggapan bahwa tidak adanya presidential threshold berimplikasi banyaknya jumlah calon presiden nantinya yang akan mendaftar. Menurutnya pemikiran demikian sangat berlebihan.
"Wah ini pemikiran yang menurut saya sangat lebay, kenapa? kan presidential threshold, kalau tidak ada presidential threshold, dikaitkan dengan kepesertaan parpol dalam pemilu. Jadi misalnya pesertanya cuma 12 ya maksimal yang bisa nyalon 12, dan saya enggak yakin juga 12 partai itu nyalon semua, pasti ada keinginan berkoalisi," jelasnya.