Selasa 19 May 2020 21:46 WIB

Kata Pakar Soal Kualitas Telur Ayam Fertil

Telur ayam fertil di pasaran yang dijual dengan harga jauh dari normal.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Seorang pedagang telur memeriksa kondisi telur ayam yang dijualnya di pasar.
Foto: Antara/Kornelis Kaha
Seorang pedagang telur memeriksa kondisi telur ayam yang dijualnya di pasar.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Belakangan banyak ditemukan peredaran telur ayam fertil di pasaran yang dijual dengan harga jauh dari normal. Telur fertil dikenal dengan nama telur HE (hatching egg) yang berasal dari perusahaan pembibitan (breeding).

Kepala Laboratorium Ilmu Ternak Unggas Fakultas Peternakan UGM, Dr. Heru Sasongko mengatakan, telur HE dari perusahaan pembibitan ayam broiler. Jenis ini berasal dari telur fertil, tapi tidak ditetaskan perusahaan pembibitan.

Salah satu alasannya karena suplai anak ayam (DOC) yang terlampau banyak di pasaran. Sedangkan, kebutuhan terhadap daging tidak begitu banyak, sehingga telur sengaja tidak ditetaskan.

Dalam kondisi normal, pasokan anak ayam broiler sekitar 60 juta per pekan untuk seluruh Indonesia. Tapi, selama pandemi Covid-19, permintaan daging ayam menurun signifikan pasokan ayam hanya di angka 40-45 juta per pekan.

"Sekitar 20 jutaan per pekan telur tidak ditetaskan di kondisi di mana anak ayam tidak laku. Ada yang jual karena kondisi darurat, kalau kondisi normal tidak mungkin tidak ditetaskan karena biaya produksi satu telur saja sangat mahal," kata Heru, Selasa (19/5).

Dosen Fakultas Peternakan UGM ini menuturkan, telur kategori ini layak untuk dikonsumsi. Menurut Heru, tidak ada perbedaan kualitas antara telur fertil dengan infertil.

Misal, seperti di telur ayam kampung maupun telur bebek yang merupakan telur fertil yang dibuahi. Tapi, masalah terjadi saat telur itu dijual di pasaran saat tidak ditetaskan akan mengganggu pasaran telur ayam ras dari peternak layer.

Berbeda dalam kasus telur HE yang ditetaskan, namun setelah melalui proses pengecekan embrionya tidak berkembang lalu dikeluarkan dari inkubasi atau pengeraman. Yang mana, disebut telur HE infertil.

Telur di kondisi ini tidak layak secara kualitas karena walau aman dikonumsi tapi kualitasnya sudah menurun. Menurut Heru, ciri-ciri telurnya sudah tidak kental.

"Kuning telurnya juga sudah tidak kental dan melebar jika dipecah dan aromanya kadang sudah berbeda," ujar Heru.

Sedangkan, ciri fisiknya bisa dikenali dengan cara meneropong dengan senter, rongga udara dalamnya sudah besar dengan diameter lebih dari dua centimeter. Sebenarnya, larangan menjual telur HE sudah ada.

Ada di Permentan Nomor 32/PK.230/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi. Disebutkan pelaku usaha pembibitan dilarang memperjual belikan telur tertunas atau berkategori telur fertil.

"Jadi, memang ada SE dari Permentan yang tidak membolehkan memperjual belikan telur fertil ini," kata Heru.

Heru menyampaikan, di telur HE yang tidak ditetaskan, diambil segera setelah bertelur, sebenarnya telah terbentuk embrio dalam fase istirahat. Saat dibiarkan dalam suhu kamar, embrio telur tidak akan berkembang.

Saat telur dieramkan atau inkubasi dengan suhu 100 derajat Fahrenheit atau 38 derajat Celcius, maka embrio berkembang. Telur yang baru ditelurkan dan diedarkan, tidak dimasukan mesin tetas sudah ada embrio dalam fase tidur.

"Embrionya nanti akan mati pada penyimpanan 15 hari di suhu kamar dan akan tahan hingga tiga pekan saat disimpan di ruangan dengan suhu sekitar 16 derajat Celcius," ujar Heru.

Heru mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir secara berlebihan menghadapi peredaran telur fertil ini. Meski begitu, ia menyarankan masyarakat untuk lebih cermat dalam memilih telur yang akan dikonsumsi.  

"Dari harga kalau terlalu murah patut diwaspadai telur ada apa-apanya," kata Heru. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement