Ahad 28 Sep 2025 20:20 WIB

Praperadilan Nadiem, Pakar Pidana: Penghitungan Kerugian Negara tak Harus dari BPK/BPKP

Audit bahkan bisa dilakukan institusi swasta maupun inspektorat.

Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim degan mengenakan baju tahanan berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Jampidsus, Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/9/2025). Kejaksaan Agung menahan dan menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan chromebook di Kemendikbudristek.
Foto: Republika/Prayogi
Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim degan mengenakan baju tahanan berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Jampidsus, Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/9/2025). Kejaksaan Agung menahan dan menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan chromebook di Kemendikbudristek.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho, mengatakan, penghitungan kerugian negara negara dalam proses hukum kasus korupsi, tidak harus selalu dilakukan institusi resmi pemerintah, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

Merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), menurut Hibnu, penghitungan kerugian negara, bisa dilakukan BPK, BPKP, maupun institusi lain. “Sekarang sudah diperluas, tidak hanya BPK. Inspektorat juga bisa menghitung. Di daerah-daerah itu tidak harus menunggu BPK. Atau mengundang ahli/instansi lain juga bisa,” kata Hibnu.

Hal ini disampaikannya menanggapai praperadilan penetapan tersangka Nadiem Makarim dalam perkara dugaan korupsi pengadaan laptop chromebook.  Menurut kuasa hukum Nadiem, Hana Pertiwi, penetapan tersangka kliennya tidak sah karena tidak ada dua alat bukti permulaan yang cukup, salah satunya bukti audit kerugian negara dari instansi yang berwenang yaitu  BPK atau BPKP.

Hibnu mengatakan, Kejaksaan Agung (Kejagung) pasti sudah mengetahui hal-hal yang harus dipenuhi sebelum menetapksan seseorang menjadi tersangka. “Kejaksaan pasti nanti akan melampirkan semua itu,” ungkapnya. 

Dijelaskannya, ranah dari praperadilan adalah persoalan sah tidaknya penangkapan, penetapan tersangka, penghentian penyidikan, penyitaan dan sebagainya. Dan merujuk pada ketentuan pasal 2 dan 3 UU Tipikor disyaratkan adanya kerugian negara. 

Dikatakannya, upaya hukum dari pihak Nadiem Makarim dengan mengajukan praperadilan adalah sah-sah saja. Termasuk jika ada pandangan kuasa hukum Nadiem yang menganggap tidak ada kerugian negara. Mengingat belum adanya audit dari BPK maupun BPKP saat penetapan tersangka.

“Pendapat dari kuasa hukum seperti itu ya sah-sah saja. Biar nanti dipersidangan dibuktikan ada tidaknya kerugian negara, sah tidak penetapan tersangkanya, bukti-buktinya dan sebagainya,” kata Hibnu.

Diingatkan pula, praperadilan adalah peradilan yang hanya menguji mekanisme, belum sampai pada substansi perkara. Sehingga dalam masalah ini tidak dikenal Ne bis in idem (tidak dua kali dalam hal yang sama).  Sehingga kalaupun praperadilan Nadiem dikabulkan maka kejaksaan bisa menetapkan Nadiem sebagai tersangka lagi, asal disertai dengan bukti baru lagi.

“Praperadilan hanya alat kontrol sah tidaknya penetapan tersangka, belum masuk sampai pengujian pokok perkara,” ujar Hibnu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement