Selasa 19 May 2020 10:03 WIB

Kementerian PPPA Pantau Peradilan Remaja yang Bunuh Balita

Proses hukum anak terhadap remaja yang bunuh balita harus sesuai dengan UU

Rep: Rizky suryarandika/ Red: Esthi Maharani
Jejak kasus NF, remaja pembunuh anak di Sawah Besar.
Foto: Republika/Berbagai sumber diolah
Jejak kasus NF, remaja pembunuh anak di Sawah Besar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memantau kasus remaja perempuan berinisial NF yang diduga membunuh anak berusia lima tahun (balita) di Sawah Besar, Jakarta. Kasus yang terjadi pada 5 Maret 2020 lalu itu menjadi perhatian Kementerian PPPA agar berjalan sesuai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar telah mengunjungi remaja itu di tempat rehabilitasi Kementerian Sosial. Kunjungan tersebut untuk memastikan kesiapan anak menghadapi persidangan yang akan dihadapinya.

“Proses hukum anak pelaku harus tetap berjalan sesuai dengan Undang – undang SPPA, sehingga anak pelaku tetap mendapatkan hak – haknya, khususnya memperoleh bantuan hukum dalam proses peradilan pidana," kata Nahar dalam siaran pers, Senin (18/5).

Nahar menceritakan NF hanya remaja biasa. Ia seperti remaja lainnya, rindu rumah ketika dirundung masalah.

"Pelaku sempat bercerita bahwa hobinya adalah mendengarkan musik, dan kelak ingin menjadi komikus. Ia juga mengutarakan kerinduannya dengan suasana di rumah," ungkap Nahar.

NF harus mengikuti proses hukum yang akan dijalani sembari mendapatkan pendampingan untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Sebab NF diduga termasuk korban kejahatan seksual karena tengah mengandung saat ini. Nahar menekankan pentingnya memikirkan masa depan NF.

"Proses reintegrasi anak berhadapan dengan hukum ke lingkungan sosialnya dan dapat diterima oleh masyarakat adalah tugas dan tanggung jawab kita semua," sebut Nahar.

Kementerian PPPA mengingatkan agar identitas terkait anak, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban wajib dirahasiakan untuk menghindari stigma sosial yang dapat menghambat tumbuh kembang dan masa depan anak. Hal ini sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA, khususnya Pasal 19.

"Kami mengimbau agar identitas anak yang berhadapan dengan hukum wajib dirahasiakan, khususnya dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik," ucap Nahar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement