REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin yang baru dilantik dua pekan lalu mengeluhkan kekurangan hakim agung. Jumlah hakim makin berkurang karena ada yang memasuki masa purnabakti atau meninggal dunia.
"Kondisi penanganan perkara di Mahkamah Agung juga dipengaruhi oleh jumlah hakim agung yang mengalami penurunan," ujar Syarifuddin dalam pidato pertama melalui siaran video, Rabu.
Rekrutmen hakim agung pengganti disebutnya tidak memenuhi kebutuhan yang diminta. Apalagi untuk memenuhi kebutuhan menurut Undang-Undang Mahkamah Agung, yakni sebanyak 60 orang.
Akibatnya, kata dia, beban kerja hakim agung yang ada melebihi kapasitas. Sehingga setiap hakim agung diupayakan dibantu tenaga profesional dari kalangan hakim tingkat banding untuk memilih perkara.
"Peran tenaga profesional yang membantu hakim agung ini sesuai dengan Cetak Biru Pembaruan Peradilan untuk memenuhi kebutuhan dukungan teknis, yaitu perlunya dilembagakan jabatan asisten hakim sebagai tenaga ahli yang memberikan masukan-masukan bersifat teknis terhadap fungsi hakim," ujar Syarifuddin.
Meski kekurangan hakim agung, ia menekankan penyelenggaraan peradilan harus cepat dan tepat dengan putusan atau penetapan yang dapat diterima akal sehat dan dipertanggungjawabkan.
Untuk peradilan yang cepat dan tepat, menurutnya, semua tingkat peradilan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, dengan berlandaskan pada adagium justice delayed is justice denied serta justice rushed is justice crushed.
Dalam mengimbangi pekerjaan berat hakim, Mahkamah Agung disebutnya mengupayakan peningkatan kesejahteraan hakim dan aparatur peradilan dengan mendorong penyelesaian perubahan kedua Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung.