Ahad 10 May 2020 17:55 WIB

Covid-19 dan Kesadaran Hukum Etis

Karena hukum seolah dibuat sebagai alat melanggengkan kepentingan penguasa.

Dian Andriasari, Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Unisba, Aktivis Perempuan
Foto:

Satjipto Rahardjo pernah menuliskan kegelisahan antara kelindan hukum dan etika dan kebersesuaian antara keduanya, dan relasinya dengan masyarakat, ia menuliskan; “Tapi kemudian hukum pun tak lagi berdiri dan tumbuh di ruang hampa. Kini hukum pun kadang bertumbuh dalam suasana yang serba sulit, dalam kompleksitas masyarakat modern. Ini berarti kompleksitas itu mengitari tidak hanya sistem hukum saja melainkan sistem sosial, ekonomi, politik, budaya juga agama”.

Karena itu dalam kondisi saat ini, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial tidak lagi dapat diserahkan kepada pola pengaturan yang santai, melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin rapi, terorganisasi, jelas dan terperinci.

Kepastian yang harus diciptakan adalah bagaimana pejabat publik mampu memberikan teladan dan memiliki sensibilitas publik. Meskipun ada yang beranggapan cara-cara seperti ini mungkin memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin berkembang.

Namun persoalan-persoalan yang dtimbulkannya pun tidak kurang banyaknya, dalam konteks saat ini wabah Covid-19 adalah ujian kemanusiaan sekaligus ujian cara berhukum kita hari ini. Bahwa kepemimpinan politik adalah representasi dari nilai-nilai metayuridis, yang selama ini kecenderungannya hanya berorientasi populer (pop-leaders) sebagai akibat budaya politik baru. Gejala itu mempengaruhi cara berhukum pejabat publik hari ini yang masih sulit membedakan antara kesadaran pusat kekuasaan dengan kesadaran hukum yang memengaruhi pembentukan wacana publik, serta antara retorika politik dan hukum.

Cara berhukum, teladan Kepemimpinan vs ujian kemanusiaan. Lalu apa korelasi dan relevansi cara berhukum masyarakat Indonesia hari ini dengan teladan kepemimpinan sebagai representasi nilai metayuridis dan kekuatan menghadapi ujian kemanusiaan ini.

Sedikit kontemplasi, melihat bagiamana keberhasilan Cina dalam mengatasi pandemic covid-19. Terbesit pertanyaan di pikiran kita apakah sistem politik atau sistem hukum yang tidak demokratis berkontribusi bagi sigapnya negara itu dalam menangani pandemi?

Singapore yang tidak demokratis juga berhasil. Tetapi saat yang bersamaan kita juga melihat negara yang demokratis seperti Jerman dan Korea Selatan juga berhasil. Artinya apa? Tidak ada benang merah antara sistem politik dan keberhasilan penanganan pandemi. Ini adalah tentang leadership, kepemimpinan politik dan bagaiamana pemimpin negara benar-benar memahami “ruh” hukum sebagai alat rekayasa sosial, bukan rekayasa politik.

Saya ingat dalam buku The Future of China, karya Ross Terril salah satu kemungkinan yang bisa berkembang di negeri itu di antara beberapa kemungkinan lain, ialah apa yang disebutnya sebagai “neo-Taoisme”. Taoisme pada umumnya merupakan sikap hidup orang-orang yang menentang, atau berada di luar; establishment.

Ia sering dikecam sebagai pandangan hidup orang yang melarikan diri dari kenyataan, masalahnya ialah, kenapa kini bisa Taoisme itu membayang lagi? Jawabnya adalah peng-alam-an. Di Cina pergolakan revolusi kebudayaan telah menyeret banyak orang ke dalam jurang. Ketika huru-hara itu berakhir, munculah kembali kemudian birokrasi itu: bangunan kokoh yang dahulu tenggelam dalam arus kacau.

Dia mengatur. Dia menolak kebringasan. Dan, seperti ditulis Terril, “Pesannya kepada warga amat jelas. Mereka harus taat. Bahtera negara berada ditangan yang baik; tak ada pertanyaan dasar yang perlu ditanyakan.” Dan rakyat pun terdiam.

Tentu Indonesia tak harus seperti Cina, kita mafhum bahwa saat ini semua entitas bangsa tengah mengalami ujian berat. Manusia seperti entitas lainnya, juga bereksistensi.

Namun manusia berbeda karena memiliki kesadaran. Sedangkan hukum memiliki tujuan mulia yaitu membentuk masyarakat berada pada tatanan hukum dan berperan sebagai sarana rekayasa sosial demi kemajuan.

Tetapi kesadaran hukum sebagai suatu entitas yang tunggal dibenturkan pada masyarakat plural dengan pandangan-pandangan yang majemuk. Namun kita mestilah yakin dan beruntung bahwa Indonesia memiliki kekuatan masyarakat sipil dan solidaritas yang tangguh untuk menghadapi ujian ini, namun apakah cukup?

*) Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Unisba, Aktivis Perempuan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement