Senin 27 Apr 2020 13:49 WIB

Polemik soal RUU Ciptaker, Ini Komentar FBR

dalam pembahasan RUU, DPR harus memberikan kesempatan kepada pihak yang kontra

Ketua Majelis Tinggi Adat Betawi Eddie Nalapraya (tengah) bersama Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR) Luthfi Hakim (kanan) dan Ketua Bamus Betawi Zainuddi (ketiga kanan) menunjukan nota deklarasi damai saat deklarasi damai dan doa lintas agama di Jakarta, Kamis (13/4).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ketua Majelis Tinggi Adat Betawi Eddie Nalapraya (tengah) bersama Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR) Luthfi Hakim (kanan) dan Ketua Bamus Betawi Zainuddi (ketiga kanan) menunjukan nota deklarasi damai saat deklarasi damai dan doa lintas agama di Jakarta, Kamis (13/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) telah menimbulkan sejumlah polemik di tengah masyarakat. Ketua Forum Betawi Rempug (FBR), KH Luthfi Hakim, turut pula menyampaikan pendapatnya.

Luthfi menyatakan dalam melihat kontroversi RUU ini harus dengan pikiran terbuka. Berbagai kelompok diharapkan bisa memberikan dukungan pada semangat dan aspek positif RUU, dan mengoreksi yang dianggap keliru.

“Termasuk dalam hal ini koreksi terhadap timing pembahasan RUU ini oleh DPR. Sekarang kan lagi, Covid-19. Jadi silakan saja ditunda. Tapi kalau yang lain, jika mau diteruskan, ya bahas saja,’’ katanya dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id di Jakarta, Senin (27/4).

Luthfi menegaskan, dalam pembahasan RUU, DPR harus memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang kontra untuk menyampaikan pandangan di parleman.

‘’Pro kontra RUU itu wajar. Tidak harus diterima semua, jangan juga ditolak mentah-mentah.  Kan Omnibus Law ini banyak aspek baiknya, apalagi untuk pemulihan ekonomi. Saya setuju, kita  jangan mengabaikan suara-suara kritik. Misalnya, masalah hak-hak pekerja, itu penting,’’ katanya.

Jika hanya klaster ketenagakerjaan yang ditunda, kata dia, klaster lainnya seperti penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, kemudahan dan perlindungan UMKM, serta kemudahan berusaha harusnya bisa tetap dilanjutkan. Demikian juga dengan kluster dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek strategis nasional, dan kawasan ekonomi.

‘’Kalau memang bagus, ya kita didukung. Semuanya, bukan hanya satu klaster, pembahasan harus dikawal  secara kritis juga,’’ kata alumni Fakultas Dakwan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu lagi.

Menurut Lutfhi, salah satu penolakan yang ia cermati terkait anggapan bahwa RUU Ciptaker berpotensi membebaskan pelaku usaha merekrut pekerja dengan sistem kontrak atau pekerja alih daya (outsourcing). RUU Ciptaker  dinilai tidak mengatur dengan jelas bahwa outsourcing terbatas pada tenaga kerja di luar usaha pokok.

‘’Saya juga nilai itu mengkhwatirkan. Tapi kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, justru aturan barunya nanti ditujukan agar pelaku usaha tidak semena-mena menerapkan sistem kontrak kepada pekerjanya. Nah, ini kan tinggal dibicarakan saja, apakah benar begitu atau hanya masalah perbedaaan tafsir. Di situlah perlu dibahas dengan jernih dan terbuka,’’ ujar Luthfi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement