REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Romi atas perkara suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag). Dalam amar putusannya, PT DKI menjatuhkan hukuman setahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Menanggapi hal ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, pengurangan hukuman tersebut mencoreng rasa keadilan di tengah masyarakat. "Pengurangan hukuman di tingkat banding terhadap Romahurmuziy benar-benar mencoreng rasa keadilan di tengah masyarakat," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada Republika, Jumat (25/4).
Untuk itu, ICW mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Karena, vonis rendah semacam ini bukan lagi hal yang baru.
"Sebab, catatan ICW sepanjang tahun 2019 rata-rata vonis untuk terdakwa korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Dengan kondisi seperti ini, maka cita-cita Indonesia untuk bebas dari praktik korupsi tidak akan pernah tercapai," kata Kurnia.
Kurnia pun membandingkan putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta jauh lebih rendah dengan putusan seorang Kepala Desa di Kabupaten Bekasi yang melakukan tindak pidana korupsi berupa pemerasan pada tahun 2019 yang lalu. Kepala Desa itu divonis 4 tahun penjara karena terbukti melakukan pemerasan sebesar Rp 30 juta.
"Sedangkan Romahurmuziy, berstatus sebagai mantan Ketua Umum Partai Politik, menerima suap lebih dari Rp 300 juta, namun hanya diganjar dengan hukuman 1 tahun penjara," ucap Kurnia.
Selain itu, kata Kurnia, vonis Romahurmuziy ini paling rendah jika dibandingkan dengan vonis-vonis mantan Ketua Umum Partai Politik lainnya. "Misalnya, Luthfi Hasan Ishaq, mantan Presiden PKS, (18 tahun penjara), Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat (14 tahun penjara), Suryadharma Ali, mantan Ketua Umum PPP (10 tahun penjara), dan Setya Novanto, mantan Ketua Umum Partai Golkar (15 tahun penjara)," tutur Kurnia.
Seharusnya, kata Kurnia, vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi bida lebih berat dibandingkan dengan putusan di tingkat pertama. Bahkan, tambah Kurnia, akan lebih baik jika dalam putusan tersebut Hakim juga mencabut hak politik yang bersangkutan.