Senin 06 Apr 2020 06:43 WIB

ICW: Jangan Jadikan Corona Jalan Bebas Narapidana Korupsi

Pemerintah hampir saja menggunakan alasan pandemik untuk pembebasan koruptor.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti usulan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly merevisi peraturan pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. ICW meminta, agar pemerintah tak menjadikan wabah virus corona (Covid-19) sebagai jalan untuk membebaskan narapidana korupsi.

Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo mengatakan, sejak awal pemerintah sudah abai serta gagal merespons dan mengatisipasi penyebaran wabah Covid-19. Pemerintah justru hampir saja menggunakan alasan pandemik untuk mengusulkan pembebasan narapidana korupsi

“Ada dua sikap ambigu pemerintah, pada satu sisi menganggap remeh corona, di sisi lain mempercepat proses pengambilan keputusan yang pada akhirnya prosesnya menjadi tidak kredibel, akuntabel dan memang tidak partisipatif,” kata Adnan di Jakarta , Ahad (5/4).

Terlebih, para narapidana kasus korupsi memiliki keistimewaan yakni satu ruang sel diisi oleh satu narapidana kasus korupsi. Hal tersebut pun merupakan bentuk social distancing yang diterapkan agar mencegah penularan.

Dalam catatan ICW untuk kurun waktu 2015-2019, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015,2016,2017 dan pada tahun 2019 melalui revisi UU Pemasyarakatan. Isu yang dibawa pun selalu sama yakni ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman.

Padahal, PP 99/2012 diyakini banyak pihak sebagai aturan yang progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi. Mulai dari penghapusan syarat Justice Collaborayor hingga meniadakan rekomendasi penegak hukum terkait.

“Sehingga dapat disimpulkan sikap dari Menteri Hukum dan HAM selama ini tak pernah berpihak pada aspek pemberantasan korupsi,” tegas Adnan.

Sebelumnya, Menkumham Yasonna Laoly membantah bila dirinya berencana memberi asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana kasus narkoba dan korupsi.  “Saya disebut mau meloloskan napi narkoba dan kasus korupsi. Seperti sudah beredar beberapa waktu lalu di media massa. Itu tidak benar,” ujar Yasonna, Sabtu (4/4).

Yasonna mengungkapkan, berdasarkan data dari Ditjen PAS, bahwa narapidana kasus narkotika masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani ⅔ masa pidananya sekitar 15.482. Narapidana tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas, yang telah menjalani pidana ⅔ masa pidana sebanyak 300 orang.

Kemudian narapidana tindak pidana khusus dengan kondisi sakit kronis dan dinyatakan oleh dokter rumah sakit pemerintah, yang telah menjalani ⅔ pidana banyak sebanyak 1.457. Lalu narapidana asing sebanyak 53 orang.

Sekadar informasi bahwa kapasitas di Lapas 130 ribu. Sedangkan jumlah penghuni di Lapas sebelum Permenkumham dan Kepmen 2020 sejumlah 260 ribu. Setelah ada Permenkumham dan Kepmen 2020, Lapas masih dihuni 230 ribu orang.

Saat ini, Pemerintah bila ingin mengurangi over kapasitas di Lapas memang dimungkinkan dengan revisi PP 99/2012. Namun dengan kriteria syarat begitu ketat.

Sempat dipertimbangkan, usulan narapidana kasus korupsi yang berumur diatas 60 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. “Pertimbangan kemanusiaan usia di atas 60 tahun. Sebab daya imun tubuh lemah. Itu juga tidak mudah mendapatkan bebas,” kata Yasonna.

“Sayangnya, banyak beredar kabar di publik dari pegiat antikorupsi seolah napi kasus korupsi yang umur 60 tahun ke atas pasti bebas,” tambah Yasonna. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement