Kamis 23 Apr 2020 17:17 WIB

Pilkada Desember 2020, Bawaslu Duga Marak Politik Uang

Beli suara akan marak karena ekonomi sedang terpuruk di tengah pandemi Covid-19.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
 Ketua Bawaslu Abhan
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Ketua Bawaslu Abhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyusun dugaan malapraktik yang akan terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 9 Desember 2020 mendatang. Salah satunya, politik uang atau money politics dalam hal ini beli suara atau vote buying akan marak.

Sebab, ekonomi sedang terpuruk di tengah pandemi Covid-19. "Ketika di dalam kondisi Covid-19 ini, ekonomi agak terpuruk. Kemungkinan potensi terjadinya vote buying akan banyak," ujar Ketua Bawaslu RI Abhan dalam diskusi virtual, Kamis (23/4).

Baca Juga

Pilkada 2020 sedianya diselenggarakan pada 23 September. Akan tetapi, akibat wabah virus corona tahapan pemilihan serentak di 270 daerah ini ditunda sehingga pemungutan suara bergeser hingga 9 Desember atas persetujuan Komisi DPR RI terhadap usulan pemerintah.

Selain itu, penyimpangan dalam penyelenggaraan pilkada lainnya yakni daftar pemilih tidak akurat. Sebab, tahapan pemutakhiran data pemilih ada interaksi antara penyelenggara pemilu dan masyarakat yang memiliki hak pilih.

Sementara, jika pencoblosan digelar Desember, virus corona belum dipastikan berakhir pada akhir Mei atau Juni. Sedangkan pencegahan penyebaran virus corona harus menghindari jarak fisik yang terlalu dekat.

Abhan melanjutkan, regulasi pemilihan akibat penundaan Pilkada 2020 pun belum jelas. Penundaan pilkada disepakati melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pilkada. KPU meminta Perppu tersebut terbit akhir April. 

Abhan mengatakan, saat ini tim Kementerian Dalam Negeri telah menyerahkan draf Perppu Pilkada kepada Presiden. Akan tetapi, Perppu itu harus dibahas terlebih dahulu di DPR RI kemudian disahkan.

Setelah itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus segera menyusun aturan turunannya dalam Peraturan KPU (PKPU). Berbagai PKPU untuk pelaksanaan teknis beberapa tahapan harus sudah diterbitkan.

Kemudian, lanjut Abhan, kekurangan logistik pemilihan juga menjadi risiko penyelenggara Pilkada di Desember 2020. Di tengah aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sejumlah pabrik terhambat produksinya bahkan tutup dan tidak menutup kemungkinan diantaranya merupakan produsen logistik pemilihan.

Kebutuhan logistik ini juga berpengaruh pada tahapan kampanye. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada juga menyebutkan, KPU diwajibkan memfasilitasi alat peraga kampanye (APK).

"Belum lagi soal jika di Perppu tidak mengatur ketentuan soal metode kampanye. Maka metode kampanye mengacu pada UU 10/2016 disebutkan. KPU juga diwajibkan memfasilitasi APK. Apakah KPU bisa tepat waktu memfasilitasi bahan kampanye untuk pilkada?" kata Abhan.

Dugaan malapraktik lainnya jika Pilkada digelar Desember 2020 adalah potensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada 2020. Setidaknya ada 224 pejawat kepala daerah dari 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020.

Menurut Abhan, misalnya saja susah membedakan antara kegiatan kemanusiaan murni atau kegiatan kampanye oleh kepala daerah. Kepala daerah yang bersangkutan diketahui telah mendapatkan rekomendasi partai politik untuk maju pilkada. 

Ia menyebutkan, sudah banyak laporan di daerah ada pembagian sembako maupun alat kesehatan dengan melampirkan foto kepala daerah tersebut. Bukan menyertakan gambar dari lambang pemerintah daerahnya.

"Lambangnya tidak menggunakan lambang sebagai pemerintah daerah, tapi ada gambar bupati, wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota, yang kebetulan dia masih berpasangan dan sudah dapat rekomendasi dari partai," tutur Abhan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement