Rabu 22 Apr 2020 21:04 WIB

Kematian Lebih Tinggi, Pakai Klorokuin Disarankan Diuji Lagi

Riset menyebut pemberian hydroxychloroquine justru tingkat kematian lebih tinggi.

Pil hidroksiklorokuin yang dikenal sebagai obat antimalaria banyak digunakan sebagai pengobatan Covid-19.
Foto: EPA
Pil hidroksiklorokuin yang dikenal sebagai obat antimalaria banyak digunakan sebagai pengobatan Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terkejut dengan pemberitaan the Washington Post, Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo menyarankan peninjauan ulang pemberian Klorokuin pada pasied Covid-19.  Dalam berita the Washington Post disebutkan, pemberian hydroxychloroquine kepada pasien Covid-19 justru terkait dengan tingkat kematian yang lebih tinggi.

"Baru saja saya dikagetkan oleh berita the Washington Post. Link berita itu dikirim oleh sahabat saya, orang Amerika yang anaknya menjadi dokter di rumah sakit perawatan pasien Covid-19,” kata Dradjad kepada republika.co.id, Rabu (22/4).

Dalam pemeritaan disebutkan riset yang dilakukan terhadap pasien Veteran Affairs di AS, ternyata pemberian hydroxychloroquine kepada pasien COVID-19 justru terkait dengan tingkat kematian yang lebih tinggi.

Studi yang dilakukan oleh Joseph Magagnoli dan kawan-kawan ini dipublikasikan di medrxiv.org. Ini adalah situs “clearinghouse” bagi riset coronavirus yang belum melalui proses “peer-review” atau belum diterbitkan di jurnal akademis.

Data diperoleh dari 368 pasien pria. Sebanyak 97 pasien diobati hidroksiklorokuin, 113 pasien diobati kombinasi hidroksiklorokuin dan antiobiotika azithromycin, dan 158 pasien tanpa hidroksiklorokuin.

Hasilnya, pasien tanpa obat klorokuin tingkat kematiannya 11.4%. Sementara yang diberi obat justru mempunyai tingkat kematian dua kali lipat atau lebih! Yaitu di atas 27% untuk pasien dengan hidroksiklorokuin dan 22% untuk pasien dengan obat kombinasi.

Ketika pertama kali klorokuin dimunculkan, kata Dradjad, beberapa dokter spesialis memberi tahu saya tentang bahaya efek sampingnya. Yaitu aritmia atau detak jantung tidak normal, bisa terlalu cepat atau terlalu lambat. "Saya tidak tahu apakah ini ada kaitan dengan tingginya kematian di atas,” kata Dradjad, yang juga ekonom INDEF ini.

Studi di atas, kata Dradjad, memang sifatnya hanya observasional. Bukan uji klinis prospektif, acak, buta ganda dengan plasebo, yang menjadi standar baku uji klinis.

Namun, lanjutnya, karena tingkat kematiannya dua kali lipat atau lebih, maka perlu waspada. Apalagi Indonesia ikut serta dalam Solidarity Trial dari WHO, di mana klorokuin menjadi salah satu obat yang dicoba.

"Saya bukan ahli medis. Tapi Case Fatality Rate (CFR) COVID-19 di Indonesia tergolong cukup tinggi. CFR, populer disebut tingkat kematian, menjadi salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kepercayaan bisnis, konsumen dan investor. Dia membuat pelaku bisnis takut bergerak. Jangan lupa, Indonesia sudah kehilangan cukup banyak pebisnis dan profesional karena Covid-19,” papar Dradjad.

Jadi dengan adanya hasil studi di atas, Dradjad menyarankan Kemenkes dan IDI meninjau ulang pemberian klorokuin terhadap pasien Covid-19. Para dokter jauh lebih paham tentang apa yang harus dilakukan.

Berikut ini link-nya adalah link yang dimaksud Dradjad Wibowo. https://www.washingtonpost.com/business/2020/04/21/anti-malarial-drug-trump-touted-is-linked-higher-rates-death-va-coronavirus-patients-study-says/

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement