Rabu 22 Apr 2020 13:04 WIB

Walhi: Covid-19 Sadarkan Manusia Hidup di Fase Krisis Bumi

Industrialisasi, dan perambahan hutan penyebab utama kemunculan penyakit zoonosis.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan pandemi Covid-10 membuat peringatan Hari Bumi tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Walhi menyatakan pandemi Covid-19 yang menyebabkan kepanikan dunia seharusnya menyadarkan manusia sedang hidup dalam fase krisis di Hari Bumi. 

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengatakan krisis tersebut lebih besar dibandingkan krisis multidimensi yang sebelumnya disebutkan Walhi pada Januari 2020. Kali ini terjadi lebih luas, tidak sekedar di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi mewarnai kehidupan umat di seluruh Bumi.

Baca Juga

"Salah urus negara, salah urus Planet Bumi menyadarkan kita bahwa Bumi yang kita huni tidak lagi aman. Ia tidak lagi mampu menahan beban kerusakan lingkungan hidup akibat praktik rakus investasi," ujar dia dalam pernyataannya menyambut Hari Bumi yang diterima di Jakarta, Rabu (22/4).

Perlakuan tidak adil segelintir manusia terhadap sesama manusia lain, flora, dan fauna mengakibatkan Bumi dihantui Covid-19. Virus ini dan 60 persen penyakit menular lainnya merupakan penyakit zoonosis yang berasal dari penularan hewan, di mana lebih dari dua per tiga-nya berasal dari satwa liar.

Laporan UNEP pada 2016 menyebutkan aktivitas intensifikasi pertanian, industrialisasi, dan perambahan hutan mengakibatkan perubahan lingkungan. Selain itu, aktivitas tersebut juga merupakan penyebab utama kemunculan penyakit zoonosis.

Aktivis lingkungan yang akrab disapa Yaya itu mengatakan, digdaya ekonomi kapitalistik tidak dapat dibantah sebagai penyebab utama laju kerusakan Bumi. Tidak hanya bersumbangsih pada lahir dan mewabahnya berbagai jenis penyakit, model ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang itu juga mengantar mayoritas penduduk Bumi pada ancaman krisis lainnya.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memprediksi pada Mei 2020 dunia akan mengalami ancaman krisis pangan (FAO, April 2020). Tentunya, Indonesia dapat mengalami hal serupa.

"Data BPS memperlihatkan ketergantungan kita pada impor kebutuhan pangan yang sangat tinggi akan berpotensi mengantar Indonesia dalam krisis pangan. Kebanggaan sebagai salah satu negara penghasil pulp, kertas, kelapa sawit dan tambang sama sekali tidak berkohesi untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman krisis pangan," katanya.

"Penyerahan harga pada pasar pun memutar logika kemanusiaan. Kelangkaan dan harga mahal alat kesehatan menguntungkan segelintir orang. Siapa yang menolong rakyat? Rasa solidaritas sesama rakyatlah yang menyelamatkan logika kemanusiaan. Di mana negara? Sibuk menyusun sebuah produk hukum RUU Cipta Kerja yang dikenal sebagai Omnibus Law. Produk hukum yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat, pada kemanusiaan dan lingkungan hidup. RUU ini bahkan mengancam melebarkan ketimpangan dan mempercepat kehancuran muka bumi di wilayah administrasi Indonesia," tegas Yaya.

Sebelumnya, Komite III DPD RI menolak dan meminta DPR agar menghentikan proses pembahasan RUU Cipta Kerja karena dinilai tidak sesuai dengan beberapa hal serta tanpa mempertimbangkan hak pekerja. "RUU Cipta Kerja bertentangan dengan asas otonomi daerah pasal 18 ayat 2 dan ayat 5 UUD 1945," kata Wakil Ketua II Komite III DPD RI M Rahman.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement