REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Intan Pratiwi, Retno Wulandhari, Antara
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak di zona merah hari ini akibat tekanan penurunan harga minyak. Secara global IHSG memang dibayangi kekhawatiran akibat fluktuasi harga minyak dunia.
"IHSG melemah didorong oleh kembali anjloknya harga minyak di mana sangat mempengaruhi bagi negara penghasil komoditas seperti Indonesia," ujar Analis Artha Sekuritas Indonesia Dennies Christopher, Selasa (21/4).
Harga minyak AS telah berubah negatif untuk pertama kalinya dalam sejarah. Itu berarti produsen minyak membayar pembeli untuk mengambil minyak dari tangan mereka karena kekhawatiran bahwa kapasitas penyimpanan akan habis pada bulan Mei.
Permintaan minyak telah jauh berkurang karena lockdown. Orang-orang tidak keluar rumah sehingga tidak membutuhkan minyak.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan turunnya harga minyak dunia secara drastis merupakan momentum tepat bagi PT Pertamina (Persero) untuk menurunkan harga BBM. “Pertamina bisa meraih laba besar dengan tidak menurunkan harga BBM, pada saat harga minyak dunia mencapai minus. Saat ini momentum yang tepat bagi Pertamina dan Pemerintah menurunkan harga BBM non-subsidi dan subsidi," kata Fahmy, Selasa (21/4), melalui pesan tertulis.
Lebih lanjut, ia mengatakan penurunan harga BBM secara serentak akan dapat menaikkan daya beli masyarakat yang sedang terpuruk akibat Covid-19. Kenaikan daya beli itu akan mendukung kinerja konsumsi rumah tangga dan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang tahun ini diperkirakan hanya mencapai 2,2 persen.
Pelemahan permintaan minyak akibat Covid-19 disebutnya terus berlanjut, yang menyebabkan harga minyak di AS mencapai minus. Penetapan harga minyak hingga minus merupakan upaya terbaik untuk meminimkan kerugian yang diderita produsen minyak. Untuk itu, produsen akan menanggung semua biaya pengiriman minyak kepada pembeli.
Penurunan harga minyak dunia hingga minus, mempunyai dampak signifikan terhadap Indonesia. Dampak negatifnya terjadi penurunan pendapatan dari ekspor minyak dan komoditas lainnya, yang penetapan harganya dikaitkan dengan harga minyak, misalnya gas dan batu bara.
"Dampak positifnya sebagai net impoter minyak, nilai impor crude oil dan BBM jadi lebih murah," kata Fahmy.
Anjloknya harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI), acuan untuk minyak Amerika Serikat, ke level minus 37,63 dolar AS per barel, Senin (20/4), ternyata tidak memberikan dampak langsung ke Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, penentuan harga bahan bakar minyak di Indonesia mengacu pada publikasi MOPS yang berdasar pada harga minyak jenis Brent, bukan WTI seperti yang menjadi acuan di AS.
"Kaitan dengan Indonesia, basis harga kita MOPS bukan WTI. Dan MOPS ini basisnya adalah Brent. Namun ini memang pasti akan memberikan tekanan. Bagi Indonesia akan memonitor karena terkait dengan kebijakan Biodiesel," ujar Airlangga usai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Selasa (21/4).
Menurut Airlangga, dampak yang akan dialami Indonesia lebih kepada kebijakan produksi biodiesel. Harga minyak mentah jenis Brent sendiri bergerak di angka 20-30 dolar AS per barel.
Terkait anjloknya harga jual minyak mentah di AS, Airlangga menyebutkan bahwa suplai di sana memang berlebih. Ditambah lagi, tanggal 21 April merupakan batas 'delivery future market' minyak mentah WTI oleh produsen minyak AS.
Airlangga menambahkan, kebijakan lockdown atau karantina wilayah yang diterapkan berbagai negara dunia membuat kebutuhan terhadap minyak mentah turun drastis sebesar 25-29 juta barel per hari. Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) sudah sepakat memangkas produksi hingga 10 juta barel per hari, namun langkah ini dianggap belum cukup.
"Kita tahu di AS jadi produsen besar 13 juta barel oil per day dan mereka mau memangkas 2 juta. Namun kebijakan tersebut, dan pemotongan OPEC 10 juta barel per day itu diperkirakan belum cukup untuk menyerap demand shock dari Covid-19," jelas Airlangga.
Desakan kepada pemerintah untuk menurunkan harga jual BBM di dalam negeri memang semakin deras. Namun alasan di baliknya tidak spesifik disebabkan anjloknya harga minyak WTI di AS. Sebagai acuan MOPS yang dijadikan dasar penentuan harga BBM di Indonesia, harga minyak Brent juga mengalami penurunan dalam beberapa waktu terakhir.
Seperti diketahui, ada awal Maret tahun ini terjadi konflik antara negara anggota OPEC dan non-OPEC yang menyebabkan indikasi kelebihan pasokan dan memicu turunnya harga minyak dunia yang tajam. Kejadian ini bersamaan dengan adanya pandemi Covid-19 yang mulai merebak sejak awal 2020.
Melihat pandemi corona yang terjadi, pada awal April OPEC+ sepakat memotong produksi minyak ke pasar dunia sebesar 9,7 juta barel per hari pada Mei dan Juni 2020 dan tidak menutup kemungkinan bisa diperpanjang. Namun demikian hasil perundingan tersebut masih belum memberi perubahan harga minyak karena permintaan menurun akibat pandemi Covid-19.
Penurunan harga minyak dunia membuat PT Pertamina (Persero) memangkas kapasitas produksi sumur pada sumur eksplorasi dan juga sumur eksploitasi. Penurunan kapasitas produksi berkisar sampai 10 persen.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menjelaskan meski memang secara nilai keekonomian produksi tidak bisa berhenti total, namun perusahaan bisa melakukan pengurangan kapasitas produksi. Ia menjelaskan untuk pengeboran berkurang 10 persen yang sejakan dengan efisiensi capex dan opex.
"Jadi karena tidak bisa berhenti produksi terutama untuk sumur yang sudah dieksplorasi maka kami lakukan pengurangan kapasitas produksi saja," ujar Nicke dalam rapat daring bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (21/4).
Ia menjelaskan produksi minyak pertama turun 2 persen menjadi 421 ribu barel per hari. Sedangkan produksi gas diturunkan menjadi 4 persen. Sayangnya, penurunan produksi ini tidak bisa dilakukan di sumur geothermal, sehingga pertamina mau tidak mau membuang saja produksi gas dari sumur panas bumi ini.
"Jadi total rata rata penurunan 3 persen. Geothermal karena tidak bisa ditutup dan demand PLN juga turun, maka terbuang saja," ujar Nicke.
Ia juga menjelaskan perusahaan melakukan pengurangan capex di hulu sebesar 25-30 persen. "Sehingga dari sisi produksi kita lakukan sangat minimal. Sumur eksplorasi baru turun, sumur eksploitasi juga diturunkan. Lalu 923 ke 894 ribu boepd produksi total," ujar Nicke.