REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut siklus kekerasan di Papua harus diputus dan dihentikan. Presiden, diminta Komnas HAM tidak boleh mendiamkan begitu saja kejadian kekerasan yang berulang terjadi di Papua.
"Siklus kekerasan di Papua harus diputus dan dihentikan. Oleh karena itu Presiden tidak boleh mendiamkan begitu saja kejadian kekerasan yang berulang tersebut di Papua," ujar Koordinator Sub-Kom Penegakan HAM Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, melalui keterangan tertulis, Rabu (15/4).
Terkait peristiwa di Timika, Papua, di mana dua pemuda Papua yang menjadi korban salah tembak hingga meninggal dunia, Komnas HAM menilai Mabes TNI dan Mabes Polri perlu membentuk tim gabungan. Tim itu bertugas untuk mengungkap peristiwa penembakan yang mematikan itu.
"Mengapa TNI bisa salah mengidentifikasi objek sasaran operasi serta memproses secara hukum semua anggota TNI yang diduga terlibat dalam penembakan tersebut," jelas dia.
Selain itu, Komnas HAM juga berpandangan Panglima TNI dan Kapolri bisa dan mampu untuk menyelesaikan dan mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Menurutnya, langkah pengusutan oleh TNI dan Polri secara hukum adalah langkah yang paling efektif.
"Kepercayaan dan dukungan perlu diberikan pada Kapolri dan Panglima TNI," kata Beka.
Dalam beberapa hari terakhir terjadi peristiwa kekerasan bersenjata di Papua. Pertama di Kosanaweja, Membramo Raya, yaitu meninggalnya tiga orang anggota polisi dari Polres Mambra karena ditembak oleh anggota TNI Yonif 755 yang bertugas di Pos Pamrahwan di Mambra.
Kedua, meninggalnya dua pemuda karena ditembak oleh anggota TNI yang berpatroli di sekitar area Freeport di Mile 34 Timika. Anggota TNI yang berpatroli menduga kedua remaja itu anggota kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB).
"Dugaan TNI itu dibantah oleh keluarga korban. Ketiga, beberapa hari lalu juga tewasnya seorang karyawan Freeport yang diduga ditembak oleh kelompok bersenjata," ungkap Beka.