REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid, menilai implementasi peraturan menteri perhubungan yang membolehkan ojek daring atau online (ojol) mengangkut penumpang selama penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSSB) bisa membingungkan masyarakat. "Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 itu overlapping dan tidak mempunyai landasan dan pijakan konstitusional," ujar dia dalam keterangan tertulis, yang diterima di Jakarta, Senin (13/4).
Menurut dia, jika memang menhub ingin membuat produk regulasi, idealnya mengakomodasi serta wajib untuk sejalan dengan peraturan perundang-undangan horizontal-sektoral yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai leading sector dalam penanganan Covid-19 dan penerapan PSBB. Menkes juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 sebagai dasar pemberlakuan PSBB yang di dalamnya hanya memperbolehkan ojol mengangkut barang, bukan penumpang.
"Jadi, menhub ad interim jangan membuat norma serta pranata baru yang sifatnya contra legem sehingga ini sangat berimplikasi secara mendasar pada visi penyelesaian penanganan Covid-19 pada tingkat yang lebih teknis. Ada kebingungan confusion pada tingkat lapangan. Ini tidak boleh terjadi dalam situasi darurat pandemi seperti ini," katanya.
Jika dilihat dari peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Pencegahan Penyebaran Pandemik Virus Corona yang ditandatangani Luhut Binsar Panjaitan tersebut tidak sejalan dan berpotensi bertentangan dengan ketentuan dalam UU tersebut. Pasalnya, ia mengatakan, leading sector dalam persoalan penanganan Covid-19 adalah Kemenkes beserta atribut kewenangan yang sifatnya regulatif untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan percepatan penanganan Covid-19.
Penerapan PSBB, kata Fahri, berdasarkan pada UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan PP Nomor 21/2020. Dengan kewenangan itu, menkes mengeluarkan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang pedoman PSBB dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. Dengan PP Nomor 21/2020, menurut dia, menkes diberikan kewenangan untuk mengatur pelaksanaan PSBB dan memberikan pedoman pelaksanaannya, termasuk pengaturan soal pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum maupun pembatasan moda transportasi.
"Dengan demikian, sepanjang spirit pengaturan terkait PSBB maka mutlak adanya setiap beleid atau kebijakan hukum yang akan dilakukan oleh badan atau kementerian sektoral lainya wajib berpedoman pada ketentuan yang dibuat oleh menteri kesehatan sehingga setiap regeling atau peraturan yang dibuat harus sejalan dengan paradigma keadaan kedaruratan kesehatan, bukan yang lain," kata Fahri.
Fahri menilai, dari segi teknis yuridis, Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 tersebut kelihatannya sedikit membajak kewenangan menkes dalam rangka pengaturan PSBB. Bahkan, kata dia, permenhub tersebut cenderung tidak responsif dan tidak mengakomodasi semangat keadaan darurat terkait penyebaran Covid-19 yang sangat eskalatif dan masif menyebar ke 34 provinsi Indonesia.
"Covid-19 ini berdampak pada semua aspek, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan, maupun kesejahteraan masyarakat, sehingga segala kebijakan negara dan pemerintah hakikatnya wajib berdasar pada paradigma serta nuansa kedaruratan serta keadaan bahaya. Jangan lagi membuat kebijakan yang konvensional serta normal," kata Fahri.