Rabu 08 Apr 2020 08:03 WIB

YLBHI Kritik Surat Telegram Kapolri

YLBHI khawatir Telegram Kapolri justru mendorong semakin banyaknya penangkapan.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Teguh Firmansyah
Aktivis YLBI Asfinawati.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Aktivis YLBI Asfinawati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengatakan beberapa Surat Telegram yang dikeluarkan oleh Kapolri berpotensi melanggar keadilan. Surat Telegram itu mendorong semakin banyaknya penangkapan terhadap masyarakat yang kritis dan melanggar hak atas kebebasan menyampaikan pendapat serta ekspresi.

"Beberapa Surat Telegram tersebut memang ditujukan untuk internal kepolisian tetapi dampaknya justru akan berlaku bagi masyarakat. Penjelasan pasal-pasal yang ada tanpa disertai penjelasan yang memadai berdasarkan hukum dan putusan pengadilan yang berkembang berpotensi kuat menjadi penyalahgunaan dalam penerapannya," katanya kepada Republika.co.id, Selasa (7/4).

Baca Juga

Kemudian, ia menjelaskan Surat Telegram tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) 4 April 2020. Pihaknya mencatat pengaturan menolak atau melawan petugas yang berwenang sebagaimana pasal 212 s/d 218 KUHP berpotensi menjadi alat untuk penangkapan sewenang-wenang dalam perintah social distancing sesuai dengan PSBB.

Ia khawatir pengenaan pasal ini menjadi tindakan penggunaan hukum pidana yang berlebihan atau over-criminalization.

Lalu, ia melanjutkan Surat Telegram tentang Siber tanggal 4 April 2020 tentang menyebarkan hoaks terkait Covid dan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah Covid sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan/atau 15 UU No. 1/1946.

Pasal ini masih menjadi kontroversi dalam pelaksanaannya sebagaimana disampaikan oleh ahli hukum pidana, Andi Hamzah. Andi Hamzah menyatakan bahwa pasal ini bermasalah karena Pemerintah melalui UU 73/1958 tentang pemberlakukan UU 1/1946 di seluruh wilayah RI dan Perubahan KUHP, tidak mengintegrasikan pasal 14 dan 15 ke dalam KUHP. Pasal tersebut juga tidak ditambahkan kedalam UU 73/1958.

Hal ini bermula saat ada dua KUHP yang berlaku di Indonesia, yaitu KUHP 1 Maret 1942 dan UU 1 Tahun 1946. Pada 1958, dikeluarkan aturan bahwa yang berlaku adalah KUHP tahun 1946 tapi tidak disebut pasal 14 dan pasal 15 secara gamblang dan cacat karena tidak tegas.

Pasal ini juga pasal materiil, yaitu mensyaratkan adanya keonaran di masyarakat baru delik pidana ini dapat dikenakan kepada pelaku.

Maka dari itu, ia ingin pemerintah perlu mengedepankan pendekatan persuasif dan kemanusiaan di tengah situasi serba sulit akibat Covid-19. Sebab, dalam kondisi krisis seperti ini masyarakat butuh pendapatnya didengarkan agar pemerintah mengerti kenyataan yang terjadi di masyarakat. Sehingga pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat bagi keselamatan masyarakat.

"Jangan lupa tindakan represif sebagai pendisiplinan tidak akan berhasil tanpa pemberian insentif berupa pemenuhan kebutuhan dan penyadaran masyarakat," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement