Rabu 01 Apr 2020 18:44 WIB

Kebijakan Covid-19 Daerah di Tangan Pusat

Proposal pembatasan daerah harus lewat gugus tugas dan menteri kesehatan.

Warga memasang spanduk pada portal karantina wilayah di Bendosari, Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (31/3/2020). Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengimbau untuk mengaktifkan pos penjagaan gerbang desa sebagai langkah pencegahan penyebaran virus COVID-19 dengan cara mengawasi dan mendata mobilitas warga terlebih saat ini masyarakat yang mulai mudik ke kampung halaman
Foto: ANTARA FOTO
Warga memasang spanduk pada portal karantina wilayah di Bendosari, Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (31/3/2020). Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengimbau untuk mengaktifkan pos penjagaan gerbang desa sebagai langkah pencegahan penyebaran virus COVID-19 dengan cara mengawasi dan mendata mobilitas warga terlebih saat ini masyarakat yang mulai mudik ke kampung halaman

Oleh: Rizky Suryarandika, Sapto Andika Candra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara resmi mengatur bahwa pemerintah daerah tak bisa lagi sekenanya menerapkan peraturan guna menangkal Covid-19. Melalui beleid itu, daerah-daerah harus mendapat restu menteri kesehatan sebelum melakukan langkah-langkah pembatasan di wilayahnya sendiri.

“Pertama pemerintah daerah dapat melakukan pembatasan sosial berskala besar atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten kota tertentu, dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang kesehatan, dalam hal ini adalah menteri kesehatan,” kata Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro saat konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (1/4).

Dalam mengajukan kebijakan itu, pemerintah daerah juga harus merujuk pada pertimbangan yang lengkap dan komprehensif. Seperti terkait epidemologis besarnya ancaman, efektivitas dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan.

photo
Petugas memasang beton saat isolasi wilayah Kota Tegal, Jawa Tengah, Minggu (29/3/2020). Isolasi wilayah dilakukan dengan menutup sebanyak 50 titik jalan masuk ke Kota Tegal dan hanya dibuka satu jalan yaitu jalan Proklamasi dengan pemeriksaan oleh Dinas Kesehatan sebelum memasuki wilayah kota tersebut untuk antisipasi penyebaran COVID-19. - (ANTARA /Oky Lukmansyah)

Mekanisme berikutnya yaitu pengajuan pembelakukan PSBB di daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang diusulkan oleh kepala daerah kepada menteri mesehatan. “Menteri Kesehatan dalam menanggapi usulan daerah meminta pertimbangan atau mendapatkan pertimbangan dari ketua pelaksana gugus tugas untuk menetapkan, apakah daerah itu disetujui untuk diberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar, atau tidak,” kata Juri.

Sebaliknya, Pemerintah Pusat melalui gugus tugas bisa langsung menerapkan kebijakan pembatasan sosial di daerah tanpa restu pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. Caranya, ketua pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid–19 juga mengajukan dulu usulan itu ke menteri kesehatan.

“Apabila Menteri Kesehatan menerima usulan dari ketua pelaksana gugus tugas, dan kemudian ditetapkan wilayah tertentu itu melaksanakan kebijakan ini, maka wajib bagi daerah untuk melaksanakan keputusan Menteri Kesehatan yang berasal dari usulan ketua pelaksana gugus tugas percepatan penanganan COVID-19,” kata Juri.

Sedangkan Presiden Joko Widodo mengatakan tidak keberatan bila ada kepala daerah yang secara mandiri melakukan pembatasan sosial atau pembatasan lalu lintas di wilayahnya. Jokowi memaklumi bila setiap pemimpin daerah pasti ingin mengontrol dan melindungi masyarakat yang dipimpin.

Hanya saja, Jokowi tetap mengingatkan bahwa kepala daerah tidak diperbolehkan mengambil kebijakan skala besar, seperti karantina wilayah.

"Ada pembatasan sosial atau lalu lintas itu wajar karena daerah ingin mengontrol daerahnya. Tapi tidak dalam keputusan besar misalnya karantina wilayah dalam cakupan gede, atau yang sering dipakai lockdown," jelas Presiden Jokowi usai meninjau rumah sakit darurat di Pulau Galang, Kepulauan Riau, Rabu (1/4).

Jokowi menjelaskan bahwa istilah lockdown dipakai apabila semua warga benar-benar tidak boleh keluar rumah. Kebijakan lockdown juga otomatis membuat seluruh layanan transportasi seperti bus, kereta api, dan pesawat pun berhenti.

"Nah ini yang kita tidak ambil jalan yang itu. Kita tetap aktivitas ekonomi ada, tetapi semua masyarakat harus menjaga jarak. Jaga jarak aman yang paling penting kita sampaikan sejak awal, social physicial distancing, itu terpenting," ujar Presiden.  

Presiden pun menegaskan bahwa pemerintah tetap tunduk terhadap Undang-undang (UU) dalam mengambil kebijakan PSBB. Ia mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ia pun mengingatkan kembali kepada kepala daerah untuk tidak membuat kebijakan yang melenceng dari arahan pusat.

"Kalau ada UU tentang kekarantinaan kesehatan, ya itu yang dipakai. Jangan membuat acara sendiri-sendiri, sehingga tidak dalam pemerintahan tidak dalam satu garis visi yang sama," ujar Presiden. 

Sejumlah daerah sebelumnya sedianya sudah melakukan pembatasan dengan menutup ruas-ruas jalan penting di wilayah masing-masing. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkobuwono X juga mempersilakan jika pemerintah kabupaten dan kota hendak melakukan karantina wilayah maksimal hingga tingkat kecamatan. Regulasi baru yang dikeluarkan pemerintah pusat agaknya bakal mengoreksi seluruh kebijakan tersebut. n

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement