REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Habiburrokhman menilai rencana penerapan darurat sipil untuk penanganan Covid-19 yang disampaikan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) tak lagi relevan. Rencana Darurat Sipil juga mendapat penolakan dari berbagai kalangan.
"Kami menampung kegelisahan masyarakat, kami ingin menyampaikan soal penolakan banyak masyarakat tentang (penerapan) Darurat Sipil. Kalau kita baca keseluruhan Perppu tersebut, saya pikir sudah tidak relevan lagi," ujar Habiburrokhman dalam Rapat Daring Komisi III DPR RI dan Polri pada Selasa (31/3).
Habiburrokhman menyoroti landasan penerapan Darurat Sipil, yakni Perppu nomor 23 tahun 1959. Ia menilai, pasal - pasal yang ternyata tidak relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Hanya Pasal 19 yang yang menyatakan bahwa Penguasa darurat sipil berhak melarang orang keluar rumah.
"Yang lainnya bahkan banyak sekali institusi yang diatur di Perppu tersebut padahal sekarang sudah tidak ada. Seperti menteri pertama, apa itu, sekarang tidak ada," ujar Habiburrokhman.
Ia melanjutkan, Darurat Sipil hanya bisa diterapkan bila ancamanannya berupa keamanan dan gangguan ketertiban hukum di seluruh wilayah Indonesia, misalnya pemberontakan. Kemudian, timbul perang yang mengkhawatirkan wilayah NKRI atau ancamannya bila negara berada dalam bahaya.
Habiburrokhman menilai, wabah Covid-19 memiliki sifat yang jauh berbeda dengan karakteristik Darurat Sipil tersebut. "Dalam konteks saya rasa jauh," kata dia.
Maka itu, Habiburrokhman meminta pemerintah berpegang pada UU nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. UU tersebut memuat banyak sekali pasal yang relevan.
"Terserah mau pilihannya karantina wilayah, atau pembatasan sosial berskala besar dan itu dekat sekali dengan apa yang terjadi saat ini," kata Habiburrokhman.