Selasa 31 Mar 2020 12:51 WIB

Politikus PKS Tolak Darurat Sipil untuk Hadapi Corona

Yang mendesak dilakukan adalah membuat alur komando kendali.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
 Anggota DPR-DPD Asal Aceh Nasir Djamil.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Anggota DPR-DPD Asal Aceh Nasir Djamil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil mengaku, kurang setuju dengan wacana Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerapkan darurat sipil dalam menghadapi wabah Corona. Menurutnya, selain rentan berpotensi melanggar hak asasi manusia, darurat sipil menunjukkan kebingungan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini.

"Terus terang saya bingung dengan wacana Presiden Jokowi yang ingin memberlakukan darurat sipil. Rencana ini menunjukkan cara berpikir bukan menggerakkan fungsi organisasi, melainkan pendekatan kekuasaan semata. Apa beliau tidak tahu risikonya", ujar Nasir Djamil saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Selasa (31/3)

Nasir menambahkan, justru yang perlu dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah menerapkan secara konsisten Undang-undang nomor 24 Tahun 2007  tentang penanggulangan bencana dan Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan. Sayangnya, menurutnya, pemerintah belum optimal dan maksimal dalam menerapkan kedua Undang-undang tersebut.

"Justru yang mendesak dilakukan adalah membuat alur komando kendali (kodal) bencana yang lebih  jelas. Ketiadaan kodal  membuat upaya menanggulangi wabah virus corona berjalan parsial tanpa koordinasi yang terukur dan teratur. Jadi perlu Perpres untuk tugas dan fungsi Kodal," usulnya.

Sementara selama ini, komando kendali di masing-masing daerah berbeda-beda. Padahal, surat edaran Mendagri telah meminta gubernur, bupati, dan wali kota menjadi ketua gugus tugas Covid-19. Pemerintah juga melakukan karantina wilayah atau lockdown terbatas dengan membatasi pergerakan warga dan moda transportasi umum. 

Lebih lanjut, kata Nasir, maka kebijakan ini tentu harus  dievaluasi secara reguler. Mengajak rakyat menjadi relawan dan memasang target. Tentu saja para relawan ini perlu diperiksa kepribadiannya, kesehatannya, dan tidak memiliki riwayat kriminal. Juga meyakinkan warga mau menjadi relawan itu juga penting dilakukan.

"Lihatlah di Inggris, di sana relawan yang sudah mendaftar jumlahnya mencapai 4 juta, padahal pemerintah di sana hanya membutuhkan 2,5 juta relawan", tutur anggota Komisi III DPR RI tersebut.

Selanjutnya, legislator asal Aceh itu,  juga mendesak Pemerintah agar jangan berlama-lama untuk memberikan kompensasi atau intensif kepada pihak-pihak yang terdampak dari kebijakan karantina wilayah, baik  ekonomi, sosial, psikis, dan medis. Nasir mengingatkan, dalam suasana seperti ini jangan banyak berwacana tapi kerja nyata yang dilindungi oleh regulasi yang jelas. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement