Rabu 25 Mar 2020 00:43 WIB

KPK Sebut Kritikan ICW Atas Dasar Cinta

Akar persoalan pemberantasan korupsi saat ini ada pada komitmen Presiden.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghargai kritikan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut 100 hari kerja lembaga antirasuah di bawah komando Firli Bahuri.  Menurut KPK, kritikan dari ICW didasari atas dasar cinta.

"ICW mengkritik dan menilai kerja KPK saat ini kami yakini karena atas dasar cinta KPK dan pemberantasan korupsi di negeri ini," kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri dalam pesan singkatnya, Selasa (24/3).

Tepat pada pekan ini genap 100 hari lima Komisioner KPK terpilih. ICW menilai, terlalu banyak kontroversi yang dihasilkan menyebabkan kepercayaan publik terhadap KPK turun drastis. 

Menurut KPK, kritik, saran dan masukan yang disampaikan oleh pihak manapun termasuk dari ICW sebagai perbaikan kerja  mendatang. KPK, kata Ali, akan terus berikhtiar dan berkarya semaksimal mungkin bersama penegak hukum lain dan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

"Agar negeri yang kita cintai bersama ini terbebas dari korupsi," ucapnya.

Selama 100 hari menjabat sebagai Pimpinan KPK, ICW mencatat 7 kontroversi publik yang timbul. Pertama, gagal menangkap buronan. Sebagaimana diketahui bahwa dua buronan KPK saaat ini tak kunjung bisa ditangkap, yakni Harun Masiku dan Nurhadi. 

Padahal, rekam jejak lembaga antirasuah selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri. Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Kolombia. 

Kedua, Komisioner KPK tidak memberikan informasi yang transparan terkait penanganan perkara kepada publik. Hal ini bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron.

Sampai saat ini tidak ada satupun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut. Bahkan, saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Ketua KPK menolak memberikan jawaban ketika ditanya tentang kejadian di PTIK. 

Ketiga, Komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. Bukti konkret atas tindakan ini dapat dilihat ketika Penyidik KPK, Kompol Rossa, diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas.

Padahal, yang bersangkutan sedang menangani perkara dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan mantan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku. Tak hanya itu, masa tugas Kompol Rossa pun baru berakhir pada September mendatang dan ia juga tidak pernah dijatuhi sanksi apapun di KPK.

Keempat, Komisioner KPK berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku. Memang secara yuridis hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor.

Akan tetapi, jika dilihat lebih detail pada bagian penjelasan maka niat dari Komisioner KPK itu keliru. Sebab, metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara. Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku merupakan tindak pidana suap. 

Kelima, jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. Data KPK menyebutkan sejak tahun 2016-2019 lembaga anti rasuah itu telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang.

Namun pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo. Akan tetapi dua perkara itu bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindiknya sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs. 

Keenam, Komisioner KPK terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independesi dan etika pejabat KPK. Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara.

Tiga di antaranya kunjungan ke DPR RI. Ini jelas menggambarkan bahwa para Komisioner KPK tidak memahami pentingnya menjaga independensi kelembagaan. Dalih sosialisasi pencegahan tidak dapat diterima dengan akal sehat karena strategi pencegahan sudah jelas alur, pendekatan dan kebijakan-kebijakan teknisnya. 

Ketujuh, Komisioner KPK mengumumkan kepada publik terkait penghentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. Tentu publikasi semacam ini tidak lazim dan belum pernah terjadi di KPK. Sebab, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan. 

Selain itu dalam UU KPK, UU Tipikor, bahkan KUHAP sekali pun memang tidak pernah mengenal istilah publikasi penghentian di tingkat penyelidikan. Tak hanya itu, faktor UU KPK baru pun secara langsung memengaruhi ritme kerja KPK. 

Mulai dari proses penindakan yang terlalu birokratis karena adanya Dewan Pengawas, kelembagaan yang tidak lagi independen, sampai pada kekhawatiran perkara besar akan dihentikan melalui instrumen surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan. 

Pada akhirnya akar persoalan pemberantasan korupsi saat ini ada pada komitmen Presiden Joko Widodo dan segenap anggota DPR RI. Sebab, bagaimanapun persoalan stagnasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi adalah produk politik eksekutif dan legislatif. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement