Selasa 24 Mar 2020 14:58 WIB

Keselamatan Murid dan Guru Lebih Penting dari UN

Pemerintah memutuskan meniadakan Ujian Nasional di tengah wabah corona.

Sejumlah siswa mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Idi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Selasa (17/3). (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Syifa Yulinnas
Sejumlah siswa mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Idi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Selasa (17/3). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Sapto Andika Candra, Mabruroh, Kiki Sakinah, Zainur Mashir

Pemerintah secara resmi membatalkan Ujian Nasional (UN) tahun 2020 demi mencegah penyebaran Covid-19. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan, kesehatan siswa dan keluarganya jadi pertimbangan utama. Sebab corona merupakan penyakit mudah menular lewat kegiatan tatap muka, seperti UN.

Baca Juga

"Alasan (pembatalan UN) nomor satu prinsip dasar Kemendikbud adalah keamanan dan kesehatan siswa-siswa kita, dan keamanan keluarga siswa," kata Nadiem dalam konferensi video pada Selasa (24/3).

Nadiem khawatir tingginya resiko penyebaran corona ketika UN diadakan secara tatap muka dan siswa harus berkumpul dalam satu tempat. Penyebaran virus juga berpotensi berlanjut ke keluarga siswa .

"Karena jumlah (siswa) sangat besar, 8 juta yang akan ikut tes UN, maka tidak ada yang lebih penting daripada keamanan dan kesehatan siswa dan keluarga. Sehingga UN dibatalkan untuk (tahun ajaran 2019/20) 2020," ujar mantan bos Gojek itu.

Nadiem memberikan dua opsi untuk sekolah. Opsi pertama yang bisa diambil sekolah, tetap melakukan ujian kelulusan secara mandiri tanpa harus ada tatap muka dan mengumpulkan para siswa di ruang kelas. Ujian kelulusan sekolah, ujar Nadiem, bisa dilakukan dengan cara daring atau online.

"Ujian sekolah bisa diadministrasi, ada berbagai opsi, sekolah bisa melakukan ujian sekolah misalnya melalui online kalau mau. Atau dengan angka dari lima semester terakhir. Itu opsi yang bisa ditentukan masing-masing sekolah," jelas Nadiem.

Mempertimbangkan efek dari Covid-19 yang berimbas pada sistem belajar mengajar dalam beberapa pekan ke depan, Nadiem pun memastikan bahwa pemerintah tidak memaksa sekolah untuk ketuntasan seluruh capaian kurikulum. Pemerintah, ujar Nadiem, menyadari bahwa sistem belajar dari rumah yang dijalankan bisa saja belum optimal.

Berdasarkan kondisi ini, masing-masing sekolah diberi keleluasaan untuk tidak memenuhi standar ukuran kurikulum hingga semester terakhir.

"Kami tidak memaksa ujian sekolah harus mengukur ketuntasan capaian kurikulum sampai semester terakhir yang terdampak Covid-19," jelas Nadiem.

Sebelumnya dalam rapat terbatas tingkat menteri yang dipimpin Presiden Jokowi, pemerintah menetapkan untuk meniadakan UN 2020. Kebijakan untuk mencegah penularan Covid-19 meluas akibat berkumpulnya para siswa dalam jumlah besar dalam satu tempat. Belum lagi, risiko penularan bisa berlanjut di rumah kepada orang tua.

"Kita juga sudah tahu juga bahwa sebenarnya UN bukan menjadi syarat kelulusan atau seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jadinya setelah kami timbang pro-kontranya, bahwa lebih banyak risiko daripada benefit untuk melanjutkan UN," jelas Nadiem.

UN ditiadakan untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau setingkat Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau setingkat Madrasah Tsnawiyah (MTs), dan Sekolah Dasar (SD) atau setingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI).

Keputusan meniadakan UN mendapatkan banyak apresiasi termasuk dari Ikatan Guru Indonesia. "Ini adalah keputusan yang sangat tepat dalam suasana pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan akan berakhir," ujar Ketua Umum Ikatan Guru, Muhammad Ramli Rahim dalam siaran pers, Selasa (24/3).

Menurutnya, guru-guru Indonesia banyak yang sangat belum siap menjalankan model pembelajaran jarak jauh atau biasa disebut kelas maya. Karena itu bila diadakan UN maka sesungguhnya persiapan menuju UN sangat minim terutama oleh peserta didik.

Selain faktor kesiapan mengikuti UN, menurutnya dari sisi penguasaan materi UN kali ini pun kemungkinan besar terganggu oleh suasana psikologis masing-masing siswa yang berada dalam ketakutan tertular virus Covid 19. Siswa dan guru pun memiliki potensi yang sangat besar untuk tertular atau menularkan covid 19 ini meskipun dilakukan berbagai upaya pencegahan dengan berbagai macam cara desinfektan.

"Pelaksanaan UN jika dilaksanakan juga bertentangan dengan himbauan Bapak Presiden yang menginginkan agar siswa dan guru tetap berada di rumah. Sehingga sungguh sangat tepat apa yang diputuskan oleh Presiden Joko Widodo terkait peniadaan ujian nasional ini," terang Ramli.

Kebijakan peniadaan UN perlu diikuti oleh partisipasi aktif warga dalam penerapan perilaku social distancing, yaitu kerja dari rumah, belajar dari rumah dan ibadah di rumah.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga menyambut baik keputusan ini. Wakil Sekjen FSGI, Satriwan Salim, menyampaikan terima kasih atas langkah pemerintah yang cepat tanggap untuk memutuskan apakah UN tahun ini dilaksanakan atau tidak di tengah wabah Covid-19.

"Kebijakan ini sangat tepat di waktu yang tepat, mengingat anggarannya sangat besar. Lebih baik anggaran UN 2020 dialihkan untuk penanganan bencana nasional Covid-19, daripada melaksanakan UN yang fungsinya sudah tidak ada dan kedudukannya pun sudah sangat lemah," kata Satriwan, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Selasa (24/3).

Satriwan mengatakan, kedudukan UN sudah tidak lagi istimewa karena bukan merupakan penentu kelulusan siswa. Pasalnya, berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, penentu kelulusan siswa kini dilakukan oleh pihak otoritas sekolah dan guru.

Apalagi pada 2021 mendatang, sudah disepakati sebelumnya bahwa UN mulai dihapuskan dan pelaksanaan UN 2020 memang menjadi pelaksanaan UN yang terakhir. Pada 2021 mendatang, Mendikbud Nadiem Makarim telah menyiapkan pengganti UN dengan konsep Asesmen Kompetisi Minimum dan Survei Karakter.

Sebagai pengganti UN, Satriwan menuturkan, sekolah bisa melihat dari jejak rekam siswa melalui nilai rapor atau ujian sekolah. Menurutnya, nilai rapor bisa menjadi salah satu parameter untuk siswa alih jenjang, baik dari SD ke SMP atau SMP ke SMA.

walaupun, ia berpandangan bahwa nilai rapot memiliki kelemahan, sebab berdasarkan subjektif dari pihak sekolah. Pasalnya, setiap sekolah memiliki standar masing-masing dalam hal kriteria ketuntasan minimal (KKM) siswa.

"Untuk itu, pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan untuk mengantisipasi perbedaan penafsiran nanti. Walaupun PPDB zonasi masih dilaksanakan, tetapi alokasi untuk sistem zonasi itu 50 persen. Sekolah harus didorong agar nilai rapot tidak menjadi satu-satunya faktor penentu siswa bisa masuk ke jenjang berikutnya, tetapi juga memperhatikan soal zonasi," lanjutnya.

Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Abdul Mu’ti menyatakan, pihaknya telah sejak Senin (23/3) mengusulkan peniadaan UN kepada Pemerintah melalui Kemendikbud RI. Hal tersebut ia nilai demi kemaslahatan bangsa, utamanya peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.

Ditanya alasan pihaknya mengusulkan pembatalan, dia menyebut ada beberapa keputusan dan latar belakang pemerintah yang mendorong hal itu. Utamanya, terkait perpanjangan status keadaan tertentu darurat bencana virus corona di Indonesia.

“Surat usulan pembatalan Ujian Nasional juga sudah disampaikan oleh BSNP kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 23 Maret 2020,” ungkap Mu'ti.

 

photo
Menjaga jarak antarmanusia atau social distancing. - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement