REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Rumusan ideologi Muhammadiyah awal masih menjadi acuan gerakan sampai sekarang. Tapi, penyempurnaan ideologi lewat perumusan kembali secara periodik harus dilakukan seiring tuntutan perkembangan kehidupan.
Prof Achmad Jainuri dari Diktilitbang Muhammadiyah mengakui, perumusan kembali harus dilakukan karena ideologi bukan doktrin kaku. Ideologi Muhammadiyah merupakan rumusan tentatif yang bisa berubah.
"Yang digali dari sumber nilai-nilai Islam, keyakinan, tradisi, dan pemikiran kontemporer serta pemikiran elit-elit persyarikatan," kata Jainuri.
Muhammadiyah melihat kondisi masyarakat Indonesia awal abad 20 diselimuti kebodohan, kemiskinan, dan ketidakmampuan diri menjalani hidup sehat. Demi mengatasi itu, Muhammadiyah menjawabnya lewat pendidikan bagi masyarakat.
Kemudian, Muhammadiyah membuka poliklinik, rumah sakit, panti asuhan, dan rumah jompo. Karenanya, pilihan program-program kemanusiaan seperti itu merupakan pilihan rasional dan tepat saat itu.
Reformulasi yang dimaksudkan tidak berarti mengganti semua rumusan yang sudah ada. Tapi, lebih kepada penyempurnaan aspek-aspek ideologis yang tidak kompatibel seiring dengan tuntutan-tuntutan perkembangan.
Ia mengingatkan, jika Muhammadiyah menolak perubahan akan tergilas perubahan sendiri. Sebab, penolakan atas perubahan akan alami disrupsi yaitu kesulitan yang dihadapi persyarikatan laksanakan program-program karena ada kelemahan.
"Karena itu, inovasi menjadi pilihan penting untuk mengatasi persoalan yang ada," ujar Jainuri.
Masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat hari ini, secara ideologis tidak cuma dilihat Muhammadiyah, tapi akan harus dicarikan solusinya. Mulai aspek keagamaan, politik, sosial, budaya, sampai aspek ekonomi.
Jainuri menuturkan, melalui komunikasi silaturahim dari simpul-simpul kekuasaan secara persuasif, periode ini lahir trisula baru. Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Lazismu, dan pemberdayaan masyarakat
Kemampuan kolaborasi
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof Abdul Munir Mulkhan, menilai kekuatan Muhammadiyah sebenarnya terletak pada kemampuan kolaborasi serta berdialog dengan lingkungan sosial dan budaya yang berkembang.
Ia mengingatkan, nilai-nilai Islami merupakan implementasi tujuan hakiki pewahyuan syariah. Setidaknya, meliputi empat unsur jaminan mulai kebebasan berkeyakinan, pengembangan sains, bebas kesenjangan, dan peduli keluarga.
Tujuan hakiki pewahyuan syariah senafas azas Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKOE) atau PKU. Kesaksian Dr Soetomo, nilai lima sila Pancasila yang hidup dalam tradisi semua bangsa merupakan nilai kemanusiaan universal di dunia.
Tapi, walau hakikatnya bisa sama, ia mengingatkan, praktik ritual agama-agama bisa beda dan saling bertentangan. Demikian pula ritual tiap aliran keagamaan dalam satu agama yang sangat bisa saling berbeda dan bertentangan.
Selama ini, Munir berpendapat, pengelolaan amal usaha Muhammadiyah (AUM) lebih bagi misi kemanusiaan dan jutaan pengguna AUM dibiarkan tetap kepada keyakinan semula. Bahkan, per 14 Februari 2020, anggota bernomor baku Muhammadiyah masih sangat sedikit.
"Per 14 Februari 2020 baru 1.349. 408 dalam usia gerakan yang sudah genap 108 genap sejak berdiri 1912," ujar Munir.
Padahal, Munir mengingatkan, jumlah pasien di 91 RS PKU pada 2019 saja begitu banyak. Terdiri dari 5.905.938 orang yang rawat jalan dan 911.726 orang yang rawat inap, jika dikali 10 tahun sudah mencapai 50 juta orang.
Selain itu, setiap tahun perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) menerima lebih dari setengah juta mahasiswa. Lalu, berjuta-juta siswa masuk sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Nusantara. Tapi, pengguna jasa AUM yang jumlahnya sudah bisa menyamai separuh penduduk Indonesia.