Kamis 19 Mar 2020 10:27 WIB

Diberhentikan DKPP, Ini Respons Komisioner KPU Evi Novida

Komisioner KPU masih mempelajari putusan yang dikeluarkan DKPP.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Teguh Firmansyah
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi Novida Manik di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).(Republika/Mimi Kartika)
Foto: Republika/Mimi Kartika
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi Novida Manik di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).(Republika/Mimi Kartika)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi Novida Ginting Manik mengaku masih mempelajari putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait pemberhentian tetap dirinya. Evi dipecat dari anggota KPU RI atas dakwaan pelanggaran kode etik sebagai penyelenggara pemilu dalam pemilihan legislatif DPRD Kalimantan Barat.

"Mohon maaf kami tadi belum bisa menjawab karena masih membaca dan mempelajari putusannya," ujar Evi dalam pesan singkatnya, Rabu (18/3) malam.

Hal yang serupa juga diungkapkan Ketua KPU RI Arief Budiman ketika menanggapi putusan pemecatan Evi oleh DKPP. "Kami akan pelajari dulu putusan tersebut," kata dia, Rabu.

Komisioner KPU RI Ilham Saputra juga belum mau mengomentari perihal putusan DKPP yang juga memberikan sanksi peringatan keras terakhir kepada dirinya beserta Ketua dan Anggota KPU RI lainnya. "Sedang dipelajari. Sementara gitu ya," tutur Ilham dalam pesan singkat kepada wartawan, Kamis (19/3).

Seperti diberitakan sebelumnya, DKPP memberhentikan tetap KPU RI Evi Novida Ginting Manik dalam sidang pembacaan putusan, Rabu (18/3).

Pengadu perkara ini diajukan politikus Partai Gerindra, Hendri Makaluasc ketika menjadi calon anggota DPRD Kalimantan Barat periode 2019-2024 dapil Kalbar 6. Hendri juga sebelumnya telah mengikuti gugatan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam Putusan MK Nomor 154-02-20/PHPU.DPRDPRD/XVII/2019, perolehan suara Hendri Makaluasc sebesar 5.384. KPU Sanggau telah melakukan koreksi terhadap Formulir Model DB1 DPRD Kabupaten Sanggau, semula perolehan suara Hendri Makaluasc adalah 2.492 suara menjadi 2.551 suara.

Sedangkan perolehan suara rekannya di nomor urut 7, Cok Hendri Ramapon semula 6.378 suara menjadi 3.964 suara.

Setelah dikalkulasikan perolehan suara di dapil 6 terhadap keduanya berubah. Hendri Makaluasc 5.325 suara berubah menjadi 5.384 suara. Kemudian perolehan suara Cok Hendri Ramapon semula 6.599 menjadi 4.185 suara.

Teradu VIII dan XI pun menerbitkan Keputusan Nomor 48/PL.01.9-Kpt/61/Prov/IX/2019 yang mengubah calon terpilih dari Cok Hendri Ramapon menjadi Hendri Makaluasc.

DKPP menilai tindakan Teradu VIII dan XI dibenarkan menurut hukum dan etika karena Putusan Bawaslu Nomor 83/LP/PL/ADM/RI/00.00/VIII/2019 tidak dimaksudkan menegasikan Putusan MK.

Namun, KPU RI melalui Surat Nomor 1922/PY.01-1-SD/06/KPU/IX/2019 tertanggal 4 September 2019 menyatakan Putusan Bawaslu a quo tidak dapat dilaksanakan. KPU RI secara sepihak meminta pembatalan hasil rapat pleno terbuka KPU Kalbar yang menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara, kursi, dan calon terpilih Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat sesuai dengan Amar Putusan MK dengan mengesampingkan Putusan Bawaslu RI.

Kemudian pada 11 September 2019 bertempat di Kantor KPU RI, KPU Provinsi Kalimantan Barat mengadakan rapat pleno yang tidak sesuai dengan aturan Undang-Undang Pemilu soal Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum. Rapat Pleno tersebut menghasilkan Berita Acara Rapat Pleno Tertutup Nomor 29/PL.01.9.BA/61/Prov/IX/ 2019 tentang Pembatalan atas Rapat Pleno Terbuka KPU Provinsi Kalbar.

DKPP menilai, Teradu VIII dan XI mempunyai tugas dan wewenang menetapkan perolehan suara peserta pemilu berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan menetapkan calon terpilih Anggota DPRD Provinsi pada setiap Daerah Pemilihan. Berdasarkan ketentuan tersebut, Teradu VIII dan XI seharusnya tidak secara serta merta melaksanakan perintah KPU RI.

DKPP menimbang, permasalahan tentang penetapan anggota DPRD terpilih menunjukkan adanya kesalahan, tetapi hal tersebut sama sekali diabaikan oleh Para Teradu. Dengan demikian, Evi Novida sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu KPU RI bertanggung jawab atas permasalahan tersebut.

Evi memiliki tanggung jawab etik lebih besar atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil Pemilu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya. Selain itu Evi juga menjabat Wakil Koordinator Wilayah untuk Provinsi Kalimantan Barat.

Dengan demikian, Evi Novida bertanggungjawab mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, memantau, supervisi, dan evaluasi terkait Penetapan dan Pendokumentasian Hasil Pemilu. Selain itu, Evi Novida pun telah mendapatkan sanksi peringatan keras atas Putusan DKPP Nomor 31-PKE-DKPP/III/2019 tanggal 10 Juli 2019.

Evi Novida terbukti melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi peringatan keras serta diberhentikan dari jabatan ketua di divisi sebelumnya. Sanksi etik berupa peringatan keras disertai pemberhentian dari Koordinator Divisi, merupakan kategori pelanggaran kode etik berat.

Atas pelanggaran kode etik dan pelanggaran penyelenggaraan pemilu kali ini, Evi dijatuhi sanksi pemberhentian tetap. Sebab, Evi dinilai tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab divisi guna memastikan teknis penyelenggaraan pemilu yang menjamin terlayani dan terlindunginya hak-hak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement