REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencegahan banjir di Jakarta tidak lepas dari pengelolaan 13 sungai di Jakarta. Namun pengelolaan 13 sungai besar di Jakarta sebagian merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Karena itulah Dinas Sumber Daya Air (SDA) Provinsi DKI Jakarta sedang menyusun memorandum of understanding (Mou) dengan pemerintah pusat, untuk mempercepat koordinasi pengelolaan 13 sungai tersebut.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Juaini Yusuf mengatakan draft MoU dengan pemerintah pusat soal pengelolaan 13 sungai di Jakarta ini untuk mempermudah koordinasi dan kolaborasi dalam pencegahan banjir. Karena selama ini, diakui dia, Pemprov DKI, khususnya Dinas SDA terkendala soal kewenangan untuk mengeruk dan mengelola 13 sungai besar tersebut.
"Dengan MoU ini paling tidak kita bisa berkoordinasi dan berkolaborasi masalah penanggulangan banjir di Jakarta. Mungkin yang selama ini kita tidak bisa masuk soal penanganan banjir nanti kita bisa kerjain. Yang jelas ini lagi dibicarain kerjasamanya seperti apa," kata Juaini, Kamis (5/3).
Juaini mengakui selama ini Dinas SDA hanya melakukan pengerukan di bagian yang memang kewenangan DKI, dan itupun hanya pada saat kondisi darurat. Misalnya ada area tanggul sungai yang roboh dan membahayakan warga, pihaknya turun untuk memperbaiki. Intinya hanya penanganan sementara dan parsial saja.
Padahal, ia mengungkapkan dari 13 sungai besar yang mengalir di Jakarta setidaknya ada lima sungai yang selalu jadi andalan banjir, diantaranya Ciliwung, Pesanggrahan, Sunter, Kali Cakung dan Kali Angke. Kelima aliran sungai ini, diakui dia, dalam kondisi pendangkalan parah di beberapa titik, yang selalu meluap dan menimbulkan banjir.
Karena itulah Juaini berharap dengan MoU yang ditawarkan antara Pemprov DKI dengan pusat ini, akan mempernudah koordinasi. Termasuk mempercepat penanganan dan pencegahan banjir. "Mungkin yang selama ini masih kurang penanganannya, dengan adanya MOU itu kita lebih sering kolaborasi sama sama menangani masalah banjir," ujar dia.
Terkait dengan tugas pusat ke 13 sungai tersebut, Juaini memandang memang sebagian sudah ditangani dengan baik oleh pemerintah pusat. Namun terkadang, kata dia, ada wilayah yang perlu dikerjakan Pemda DKI namun terhalang soal kewenangan. Intinya, kata dia, apa yang jadi kewenangan DKI itu yang akan dikerjakan, sehingga tidak mengambil porsi kerja dari pusat.
Sebab, kalaupun semua 13 sungai diserahkan kewenangan ke Pemda diakui dia, anggaran SDA juga terbatas. Dan apabila nanti MoU tersebut disepakati, menurut Juaini maka pengerjaan pengerukan dan lainnya tetap menyesuaikan anggaran SDA yang sudah ada pada APBD 2020.
"Ya kalau disepakati dan butuh tambahan, nantikan bisa diusulin lagi di dewan lewat APBD Perubahan 2020," kata dia.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi sempat meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyerahkan 13 sungai di Ibu Kota untuk dikembalikan kepada pemerintah provinsi (pemprov) agar dibenahi. Menurut dia, sejak dirinya menjadi anggota DPRD DKI, pemerintah pusat tak benar-benar fokus menanganinya.
"Kalau memang Kementerian tidak mampu, serahkan kami, pemerintah daerah. Jakarta itu masalahnya sekarang ada dua masalah, macet dan banjir. Kemarin ini terang benderang Jakarta, 13 sungai yang dikelola oleh PUPR tidak ada alat (berat) satu pun yang turun," kata Prasetio.
Prasetio menganggap Pemprov DKI mampu membenahi 13 sungai itu dengan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) yang mencapai Rp 89 triliun. "Bukan apa-apa, kita punya APBD sangat luar biasa sebar Rp 89 triliun, SILPA-nya masih banyak. Kasih ke kita, kita kelola namanya jalan protokol, namanya 13 sungai, Jakarta hilang banjir dan macet," ujar dia.
Anggota Komisi V DPR RI Ahmad Syaikhu sepakat dengan pernyataan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi yang meminta agar 13 daerah aliran sungai (DAS) di DKI Jakarta dialih kelola ke pemerintah provinsi DKI Jakarta. Ia mengklaim komisi V bakal mendukung gagasan tersebut.
"Kalau memang DKI sudah firm dengan dia punya kemampuan untuk mengelola itu ya tentu silakan saja, saya dan Komisi V support terhadap apa yang digagas oleh Pak Pras," kata Syaikhu.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengatakan banjir di kawasan Jakarta sejak awal tahun 2020 akibat kurangnya kapasitas saluran air (drainase) untuk menampung air hujan. Ketika hujannya 100-150 ml, maka saluran tak bisa mengalirkan air. Kalau angka segitu dan tidak mengalirkan, berarti mampet.
Menurut Anies, pendekatan atau pun solusi yang saat ini berfokus pada penanganan sekitar aliran sungai dan tanggul laut tidak cukup untuk menghadapi curah hujan yang tidak dapat ditebak dengan kondisi cuaca ekstrem. Solusi (banjir) tak cukup hanya dengan pendekatan terkait sungai-sungai saja. Tidak cukup hanya terkait dengan tanggul laut saja.
"Karena yang dihadapi ada di rumah-rumah, di kampung-kampung, di gedung-gedung. Karena curah hujannya tinggi dan polanya, tidak lagi berpola," ujar Anies.