Kamis 05 Mar 2020 17:48 WIB

Kejakgung-Komnas Ham Diminta Koordinasi Soal Kasus HAM Berat

Komisi III meminta Kejakgung-Komnas HAM berkoordinasi soal kasus HAM berat.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Komisi III Herman Herry (kanan)
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Ketua Komisi III Herman Herry (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi III DPR, Herman Herry meminta Kejaksaan Agung dan Komnas HAM lebih berkoordinasi dalam mendefinisikan pelanggaran HAM berat. Sebab, Herman melihat dua lembaga tersebut tak sama pandangan soal Peristiwa Painai.

"Dalam pengungkapan kasus-kasus HAM ini adalah kurangnya koordinasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung," ujar Herman saat dibubungi, Kamis (5/3).

Baca Juga

Ia juga menyoroti Komnas HAM yang melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat, yang tak berkoordinasi dengan Kejakgung terlebih dahulu. Sehingga tak jarang keduanya saling bantah soal pelanggaran HAM berat.

"Jika ada koordinasi dapat mengurangi kemungkinan saling lempar bola antara Komnas HAM dan Kejakgung," ujar Herman.

Komisi III berencana untuk mempertemukan Komnas HAM dan Kejakgung dalam rapat kerja. Agar keduanya dapat menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran HAM berat.

"Sehingga ke depan koordinasi dan sinergi antarlembaga ini bisa berjalan dengan baik," ujar politikus PDIP itu.

Sebelumnya, Komnas HAM resmi mengumumkan hasil penyelidikannya terkait peristiwa berdarah di Paniai 2014. Hasil penyelidikan komisi tersebut, menebalkan terjadinya pelanggaran HAM Berat dalam peristiwa di Paniai, enam tahun lalu. Atas hasil penyelidikan tersebut, Komnas HAM, pun sudah menyampaikan ke Kejakgung agar diusut. Menurut UU HAM 26/2000, hasil penyelidikan Komnas HAM, harus direspons Kejakgung untuk melakukan penyidikan, dan penuntutan.

Peristiwa Paniai, terjadi pada 7 dan 8 Desember 2014. Peristiwa tersebut, berawal dari aksi protes warga sipil menyikapi aksi pengroyokan warga Papua yang dilakukan oleh aparat. Akan tetapi, aksi protes warga sipil ketika itu, ditanggapi militer dengan pembubaran paksa. Pembubaran paksa itu, pun berujung bentrok dan menewaskan sedikitnya empat orang yang disebabkan oleh peluru tajam. Dari peristiwa tersebut, pun satu warga sipil lainnya meninggal dunia, saat dirawat di rumah sakit.

Namun, Kejakgung menyatakan berkas penyelidikan Komnas HAM atas kasus itu belum memenuhi syarat formil dan materiil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement